Airlangga: EUDR Bisa Berdampak Bagi Sawit Indonesia

JagatBisnis.com –  Uni Eropa (UE) resmi memberlakukan Undang-Undang Anti Deforestasti Regulation (EUDR) mulai akhir tahun 2024 mendatang. Regulasi ini bertujuan memastikan produk yang masuk pasar Uni Eropa berasal dari sumber yang legal dan tidak menyebabkan deforestasi. Untuk itu, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengingatkan, adanya ancaman yang tengah mengintai sawit Indonesia.

“Karena ketentuan utama EUDR akan berpotensi sangat merugikan dan menyulitkan para petani sawit skala kecil. Di antaranya, mengenai penerapan geolocation plot lahan kelapa sawit dan country benchmarking system yang akan membagi negara dalam 3 kategori. Yaitu berisiko tinggi (high risk), standar, dan low risk atau berisiko rendah,” kata Airlangga saat membuka Pertemuan Nasional Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO) di Jakarta, Kamis (7/12/2023).

Menurut dia, ketentuan ini bisa mengancam dan menempatkan produk Indonesia, termasuk sawit, masuk kelompok berisiko tinggi. Artinya, sawit Indonesia dianggap bisa memicu deforestasi dan menyalahgunakan pemanfaatan lahan. Efeknya, ekspor produk sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, dan turunannya ke Uni Eropa akan terganggu dan harus memenuhi sejumlah syarat melalui uji tuntas.

Baca Juga :   Kasus Pencurian Bantuan Pangan Mengguncang Uni Eropa di Somalia

“Produk yang menurut UU itu dihasilkan dari proses memicu deforestasi per 31 Desember 2020 tidak boleh dijual ke Uni Eropa. Kalau kita tidak dapat menyampaikan geolocation dan data dari lahan, mereka memasukkan Indonesia pada risiko tinggi,” ungkap Airlangga.

Baca Juga :   Spanyol Menentang Penangguhan Bantuan Uni Eropa ke Wilayah Palestina

Dia menjelaskan, apabila sawit Indonesia sudah masuk ke dalam kategori resiko tinggi, maka para petani harus melakukan verifikasi dan membayar surveyor. Tentunya, hal ini akan dibebankan kepada eksportir. Untuk itu, petani sawit Indonesia disarankan untuk melakukan sertifikasi agar para petani bisa memiliki data geolocation plot lahan kelapa sawit.

“Apalagi, geolocation itu tentu harus ada sertifikasi. Oleh karena itu, ini penting harus kita selesaikan dalam kurun waktu yang tidak lama. Karena kami ingin sawit Indonesia berisiko rendah. Untuk itu, kami mendorong agar isu-isu keterlanjuran menjadi prioritas utama pemerintah,” imbuhnya.

Baca Juga :   Menteri Luar Negeri Uni Eropa Berkumpul di Kyiv untuk Membahas Aksesi Ukraina

Sementara itu, Ketua DPP APKASINDO Gulat Medali Emas Manurung menambahkan, petani sawit Indonesia sudah jauh lebih siap dalam menghadapi kebijakan tersebut. Indonesia lebih siap pada kondisi aturan Uni Eropa tersebut, dimulai dari pengetatan ekspor CPO dan turunannya, diberlakukannya B30 pada 2020 dan selanjutnya B35 awal Februari 2023.

“Jadi, petani sawit Indonesia tidak perlu panik terkait penerapan kebijakan tersebut. Karena Indonesia adalah produsen minyak sawit terbesar di dunia dan sesungguhnya Indonesia juga adalah pengkonsumsi minyak sawit terbesar di dunia,” ujarnya. (eva)

MIXADVERT JASAPRO