Jelang Pemilu 2024, Aliansi Kebangsaan Serukan 5 Hal Sehatkan Demokrasi di Indonesia

JagatBisnis.com –  Pemilu 2024 pada 14 Februari mendatang merupakan momen penting untuk kembali menyehatkan demokrasi di Indonesia. Selain itu juga mengembalikan pemerintahan ke jalur yang sesuai dengan Pancasila. Untuk itu, Aliansi Kebangsaan menyerukan 5 hal kepada seluruh rakyat Indonesia untuk menyehatkan demokrasi di Indonesia.

Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo memaparkan, pertama, kembali ke fitrah cita negara dengan pintu masuk melalui mekanisme kembali ke Konstitusi Proklamasi, 18 Agustus 1945. Jika diperlukan, penyempurnaan dilakukan secara bertahap dengan cara addendum.

“Kedua, perlu memperkuat kembali fundamen etika publik dan budaya kewargaan inklusif berlandaskan Pancasila yang mewujud dalam jati diri bangsa yang tangguh dan warga negara yang kompeten Sehingga dapat dibudayakan lewat pendidikan karakter kewargaan di semua bidang dan lapis kehidupan,” kata Pontjo dalam FGD bertema “Refleksi Kebangsaan: Memaknai Pemilu 2024”, Senin (12/2/2024).

Ketiga, lanjut Pontjo, pihaknya menyerukan untuk kembali ke sistem pemerintahan sendiri dengan merestorasi sistem demokrasi Pancasila yang menjunjung tinggi negara hukum, negara persatuan dan negara keadilan. Dalam rangka mewujudkan politik inklusif yang dapat melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Semua itu demi memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, serta ikut melaksanakan ketertiban dunia berdasarkan kemerdekaan, perdamaian, dan keadilan.

Baca Juga :   Anggaran Pemilu 2024 Belum Cair, Pemerintah Diminta Segera Bergerak

“Dalam sistematika negara kekeluargaan yang dapat menjaga keselarasan antara pembangunan negara dan pembangunan bangsa, kemakmuran material dan spiritual, kemerdekaan individu dan harmoni sosial, dengan semangat gotong royong yang melibatkan partisipasi segenap komponen bangsa, dengan pembagian peran yang tepat antara negara, komunitas dan dunia usaha,” ungkap Pontjo.

Lalu keempat, terang dia, pihaknya menilai perlunya kesungguhan komitmen untuk mewujudkan ekonomi moral Pancasila dalam rangka mencapai kemakmuran yang inklusif. Dengan mengupayakan keseimbangan antara keadilan dan kemakmuran melalui semangat perekonomian merdeka. Tentunya Harus berlandaskan usaha tolong-menolong yang disertai penguasaan negara atas “karunia kekayaan alam bersama” serta menguasai hajat hidup orang banyak.

Baca Juga :   Megawati Soekarnoputri Ajak Kader PDIP Hadapi Pemilu 2024 dengan Perkuat Akar Rumput

“Kelima, Pemilu 2024 merupakan hajatan politik yang strategis untuk kembali ke fitrah cita negara, dengan menggalang kekuatan dan partisipasi rakyat untuk memperbaiki pelaksanaan demokrasi, sesuai dengan cita negara dan cita hukum Pancasila. Oleh karena itu diperlukan upaya yang serius dari segenap komponen penyelenggara dan warga negara untuk memastikan Pemilu berjalan dengan taat asas, taat nilai etis, taat hukum, taat prosedur dan taat tujuan kehidupan berbangsa dan bernegara,” terangnya.

Sementara itu, Pembina Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dan Pengajar Pemilu Fakultas Hukum Universitas Indonesia (FHUI) Titi Anggraini menambahkan, Pemilu 2024 merupakan agenda kolosal dan terbesar demokrasi Indonesia. Pemilu 14 Februasi 2024 menjadi satu hari terbesar di dunia dengan kompleksitas teknis paling rumit di dunia. Apalagi, dengan masa kampanye sangat pendek (75 hari), pencalonan mepet, penyelenggara Pemilu sibuk dengan pelaksanaan teknis tahapan pemilu, serta banyaknya peredaran isu.

Baca Juga :   Menteri Keuangan Sri Mulyani Siapkan Anggaran Rp 37,4 Triliun untuk Pemilu 2024

“Sehingga publik tidak fokus pada politik gagasan. Justru, pemilih cenderung emosional dan mau yang simpel-simpel saja. Maka, informasi yang sensasional dan kontroversial lebih mudah untuk diterima,” ucapnya.

Menurut Titi, ada beberapa tantangan yang dihadapi dalam Pemilu 2024. Diantaranya, Pemilu legislatif cenderung diabaikan. Pemilih terlalu terfokus pada pemilu presiden. Selain itu, sistem pemilu dan tata cara pencoblosan juga amat rumit. Sehingga meningkatkan suara tidak sah pemilih dan banyak suara pemilih masuk kategori suara tidak sah.

“Sosialisasi yang telah dilakukan pemerintah, nyatanya tidak mampu menjangkau secara optimal dan inklusif. Dampaknya, publik kesulitan memahami prosedur pemilu yang benar dan mengenali peserta pemilu,” pungkas Titi. (eva)