“Misalnya, mengutip data Bloomberg, porsi sewa pesawat dibanding pendapatan Garuda mencapai 24,3 persen. Jauh di atas rata rata maskapai negara lain yang berkisar 5 persen hingga 8 persen,” tuturnya.
Alhasil, kata Bhima, opsi membailout utang Garuda, jelas-jelas bakal mengganggu keuangan negara. “Garuda belum tentu bisa comeback dengan dividen yang besar. Di sisi lain, negara harus keluar dana yang sangat besar. Itu jelas sulit sekali. Terlebih, pemerintah perlu alokasi dana lain yang lebih urgen di tahun 2022,” pungkasnya.
Sebelumnya, Menteri BUMN Erick Thohir menyebut utang Garuda semakin mencekik leher di angka US$7 miliar, atau setara Rp100,6 triliun. Utangnya terdiri dari beban pembayaran sewa pesawat terhadap lessor.
Menteri Erick mengatakan, perseroan kini sedang berupaya melakukan negosiasi dengan para lessor guna mendapatkan diskon atau dispensasi pembayaran. Sejauh ini, proses negosiasi terhadap 31 lessor masih berjalan.
Discussion about this post