Migas Tetap Punya Peran Penting Bagi Masa Depan Indonesia

JagatBisnis.com –  Indonesia bisa dipastikan tidak akan lepas dari penggunaan migas. Ini bisa dilihat dari proyeksi pemerintah pada saat nanti target Net Zero Emission (NZE) bisa tercapai, kebutuhan absolut energi fosil berupa migas tetap meningkat secara alamiah, namun dengan proporsi yang menurun dari total bauran energi.

Dalam Rencana Umum Energi Nasional (RUEN) pada 2050 kebutuhan minyak meningkat 139% dan kebutuhan gas meningkat 298%. Pada tahun itu nanti kebutuhan energi secara nasional diperkirakan mencapai sekitar 1.000 MTOE (Million tonnes of oil equivalent) dengan prosentase 44% berasal dari minyak dan gas sehingga ada sekitar 440 MTOE yang harus dipenuhi.

Hal ini disebabkan oleh adanya kebutuhan akan migas dari berbagai sektor yang belum bisa sepenuhnya tergantikan oleh Energi Baru Terbarukan (EBT). Proyeksi ini juga diperbolehkan dengan catatan bahwa emisi karbon yang dihasilkan oleh kegiatan migas harus ditangkap dan disimpan melalui teknologi atau penanaman pohon sebagai penyerap karbon. Tujuannya adalah agar tetap tercapai ketahanan energi dari bauran energi yang dipunyai Indonesia – yang terdiri dari batu bara, minyak, gas dan EBT -, dan pada saat bersamaan tercapai juga komitmen NZE.

Baca Juga :   Kejar Target Produksi, SKK Migas Perkuat Teknik Metering Pengeboran

Nanang Untung, Tenaga Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bidang Integrasi, Koordinasi dan Interface Migas, mengungkapkan kebutuhan yang cukup fundamental terhadap upaya pemanfaatan potensi migas dalam negeri adalah keberadaan investor yang memiliki sumber daya pendanaan maupun teknologi untuk mencari potensi migas.

“Kita masih sangat butuh investor. Energy transition kita maksimalkan, nggak mungkin kita hidup tanpa fosil sampai nanti suatu saat full dipenuhi, baterai masih mahal dan kita masih tergantung sama cuaca sampai ada teknologi itu mungkin kita masih butuh fosil. Prediksi semua pihak masih ada peran fossil fuel sampai 2050,” kata Nanang dalam diskusi Indonesia Petroleum Association (IPA) meets Blogger, di Jakarta, Selasa (11/7/2023).

Apalagi, menurut dia, migas dibutuhkan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan sektor transportasi. Sektor lain dipastikan juga membutuhkan sektor hulu migas.

“Kita tidak akan lepas dari petrokimia, sementara petrokimia bahan baku utamnya adalah migas,” ujar Nanang.

Hulu migas juga memberikan penerimaan negara yang tidak sedikit. Berdasarkan data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Migas (SKK Migas) hasil penjualan migas secara langsung berkontribusi sekitar Rp672 triliun, terdiri atas hasil penjualan minyak dan gas bumi sekitar Rp583 triliun, termasuk alokasi dana bagi hasil migas sebesar Rp17 triliun yang turut dirasakan oleh daerah penghasil serta hasil penerimaan lain dari hulu migas sekitar Rp89 triliun yang meliputi signature bonus, production bonus, firm commitment, pembayaran PPN, PBB Migas, PDRD, dan pajak penghasilan migas serta pendapatan lainnya.

Baca Juga :   SKK Migas temukan cadangan gas di Pulau Seram Maluku

Sementara itu, Marjolijn Wajong, Direktur Eksekutif IPA, menjelaskan posisi Indonesia sebagai produsen migas besar terus bergeser seiring dengan penurunan produksi minyak dari tahun ke tahun. Jika dulu di medio tahun 70-90an produksi bisa mencapai lebih dari 1 juta barel per hari (BPH) bahkan bisa 1,6 juta barel tapi setelah melewati tahun 90an itu produksinya terus menurun hingga posisi sekarang ini dikisaran 600 ribuan BPH.

Tapi di sisi lain kebutuhan terus meningkat dimana sekarang rata-rata kebutuhannya 1,5 juta BPH. Ini yang menimbulkan beban cukup besar bagi keuangan negara karena harus impor minyak maupun BBM.

Untuk bisa meningkatkan produksi minyak guna memenuhi kebutuhan tersebut maka sinergi antara pemerintah dan para pelaku usaha menjadi sangat penting.

Baca Juga :   Gawat! Cadangan Minyak RI Diproyeksi Hanya Bertahan Maksimal 10 Tahun

“Kebutuhan energi tambah terus kedepannya. Potensi (migas) ada, tapi harus eksplorasi dulu. Dalam industri migas biaya itu luar biasa besar. Pemerintah kalau keluarin biaya itu belum tentu dapat cadangan, uangnya bisa hilang. Jadi pemerintah punya cara, yaitu datangin investor. Kita harus tarik investor yang punya uang,” jelas Marjolijn.

Menurut dia upaya Indonesia untuk menuju energi bersih adalah kebijakan yang tepat karena turut serta mendukung tren masyarakat dunia yang semakin peduli dengan lingkungan.

Namun demikian usaha Indonesia untuk mempunyai energi bersih butuh waktu, pemakaian kendaraan listrik terutama mobil listrik masih butuh waktu yang bisa puluhan tahun. Potensi energi matahari yang memang besar juga tidak bisa dimanfaatkan terus sepanjang hari butuh bantuan teknologi baterai.

“Sementara masih menunggu energi bersih lebih siap, kita pakai apa? Cuma dua keluarin punya sendiri (migas) atau ya beli dari luar. Pastinya kita harus mengusahakan punya kita sendiri, kami pelaku usaha nggak boleh longgar, kita upayakan keluarin (produksi migas) yang kita punya,” ungkap Marjolijn. (adv)

MIXADVERT JASAPRO