JagatBisnis.com – Pengamat pertambangan sekaligus peneliti dari Alpha Research Database, Ferdy Hasiman, menyatakan bahwa Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Perubahan Keempat Atas UU Nomor 4 Tahun 2009 tentang Mineral dan Batu Bara (Minerba) lebih tepat disebut sebagai penambahan ketimbang revisi. Menurutnya, dalam draf revisi tersebut, banyak pasal yang menambahkan ketentuan baru terkait pembagian Izin Usaha Pertambangan (IUP) kepada berbagai pihak, termasuk UMKM, ormas, perguruan tinggi, dan koperasi.
“Menurut saya bukan direvisi (UU) tapi ditambah. Di pasal-pasal banyak menambahkan IUP diserahkan ke UMKM, ke ormas, perguruan tinggi hingga koperasi,” kata Ferdy pada Senin (27/01).
Ferdy juga menyoroti bahwa meskipun UU Minerba yang sekarang berlaku, yaitu UU No. 3 Tahun 2020 yang mengubah UU No. 4 Tahun 2009, baru saja direvisi empat tahun yang lalu, namun belum ada situasi yang mendesak yang memerlukan perubahan lebih lanjut. “Undang-undang ini kan baru direvisi di tahun 2020, baru 4 tahun umurnya. Dan nggak ada situasi yang genting sebagai alasan UU ini harus direvisi,” tambahnya.
Perluasan Penerima IUP dan Kurangnya Urgensi Ekonomi
Dalam draft revisi, perubahan dan penambahan pasal dalam UU Minerba lebih difokuskan pada perluasan target penerima IUP. Namun, menurut Ferdy, tidak ada urgensi dari sisi ekonomi atau industri yang mendasari perubahan ini. “Nggak ada urgensi secara ekonomi, secara industrial, atau untuk nilai tambah industri apapun, nggak ada. Yang ada adalah bagi-bagi IUP saja,” ujar Ferdy.
Lebih lanjut, Ferdy mengkritisi potensi pemberian IUP kepada perguruan tinggi yang dapat mengarah pada pembatasan kebebasan akademik. Ia menilai bahwa pemberian IUP kepada lembaga pendidikan seperti perguruan tinggi dan ormas keagamaan berpotensi meningkatkan kontrol pemerintah terhadap akademisi, yang menurutnya dapat mengurangi kebebasan berpikir dan kritis di kalangan mahasiswa dan dosen.
Pemberian Eks PKP2B kepada UMKM, Ormas, dan Perguruan Tinggi
Sebelum munculnya usulan revisi UU Minerba, pemerintah di bawah kepemimpinan Presiden Jokowi telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2024 yang merupakan revisi dari PP Nomor 96 Tahun 2021 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batu Bara. PP ini mengatur tentang penawaran prioritas Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) kepada organisasi kemasyarakatan (ormas) keagamaan, yang berasal dari bekas Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara (PKP2B).
Dalam revisi RUU Minerba, spektrum tambang yang dapat digarap juga diperluas, mencakup tambang mineral selain batu bara, seperti nikel, emas, dan tembaga. Ferdy mengingatkan, apabila RUU ini disahkan, pemberian eks Kontrak Karya (KK) kepada UMKM, perguruan tinggi, dan ormas keagamaan akan semakin besar. Eks KK sendiri merujuk pada bekas tambang yang dikelola melalui perjanjian antara pemerintah dan perusahaan berbadan hukum Indonesia.
Menurut Ferdy, pemberian lahan tambang bekas KK dapat menguntungkan lembaga yang diberikan izin karena mereka tidak perlu mengeluarkan biaya eksplorasi yang tinggi. “Mereka kan nggak perlu keluar banyak duit lagi untuk bayar terkait dengan geologis tambang atau eksplorasinya. Karena yang paling sulit itu mencari cadangan,” jelasnya.
Kesimpulan: Tidak Ada Urgensi untuk Revisi UU Minerba
Secara keseluruhan, Ferdy Hasiman menyatakan bahwa ia menolak pemberian lahan tambang kepada ormas, UMKM, dan perguruan tinggi. Ia menganggap revisi UU Minerba yang mengarah pada pembagian IUP kepada pihak-pihak tersebut tidak memiliki urgensi yang jelas. “Lebih baik dibatalkan (revisi UU). Karena memang tidak ada urgensinya,” tutupnya.
Dengan pandangan ini, Ferdy menilai bahwa revisi UU Minerba yang sedang dibahas saat ini lebih bertujuan untuk memperluas akses dan pembagian IUP ketimbang menjawab kebutuhan mendesak dalam sektor pertambangan. (Zan)