Tingginya Harga Beras di Indonesia: Sorotan Terhadap Badan Pangan Nasional (Bapanas)

Tingginya Harga Beras di Indonesia: Sorotan Terhadap Badan Pangan Nasional (Bapanas). foto dok pasardana.id

JagatBisnis.com – Badan Pangan Nasional (Bapanas) kini menjadi sorotan setelah Bank Dunia mengungkapkan bahwa harga beras di Indonesia lebih tinggi dibandingkan negara-negara ASEAN lainnya. Hal ini memicu kritik terhadap kinerja Bapanas, yang dibentuk pada tahun 2021, dalam menangani ketahanan pangan nasional.

Kritik Terhadap Kinerja Bapanas

Ekonom Konstitusi, Defiyan Cori, menilai perlu adanya evaluasi terhadap eksistensi Bapanas di bawah pemerintahan Presiden terpilih Prabowo Subianto. Ia mencatat bahwa meski pendirian Bapanas diharapkan dapat memperbaiki kondisi pangan, realitasnya menunjukkan bahwa kinerja lembaga ini belum memberikan dampak signifikan.

Menurut Defiyan, selama periode Januari hingga April 2024, Indonesia telah mengimpor sebanyak 1,77 juta ton beras. Kenaikan impor komoditas pangan lainnya, seperti gandum dan gula, juga menunjukkan bahwa Bapanas belum mampu mengurangi ketergantungan pada impor. “Kehadiran Bapanas justru menciptakan jalur baru untuk impor pangan, yang semakin memperpanjang rantai distribusi,” jelasnya.

Baca Juga :   Bank Dunia Setujui Pinjaman USD1,2 Miliar untuk Ukraina dengan Jaminan dari Pemerintah Jepang

Penjelasan dari Bapanas

Sementara itu, Direktur Distribusi dan Cadangan Pangan Bapanas, Rachmi Widiriani, mengakui bahwa harga beras di Indonesia saat ini tinggi. Ia menjelaskan bahwa biaya produksi yang tinggi menjadi faktor utama di balik harga yang melambung. “Biaya produksinya sudah tinggi, sehingga harga beras juga terpengaruh,” katanya.

Rachmi berargumen bahwa meskipun harga beras tinggi, hal ini memberikan keuntungan bagi petani, karena mereka mendapatkan harga gabah di atas Harga Pembelian Pemerintah (HPP). Nilai Tukar Petani (NTP) untuk tanaman pangan saat ini juga dilaporkan berada dalam kondisi baik, bahkan tertinggi dalam satu dekade terakhir.

Baca Juga :   Ukraina Dapat Bantuan dari Bank Dunia

Kontradiksi dalam Kesejahteraan Petani

Namun, pernyataan Rachmi bertolak belakang dengan temuan Bank Dunia yang menunjukkan bahwa kesejahteraan petani Indonesia mengalami penurunan. Carolyn Turk, Country Director for Indonesia and Timor-Leste Bank Dunia, mengungkapkan bahwa meskipun konsumen membayar hingga 20% lebih mahal untuk beras, pendapatan petani tetap rendah. Banyak petani marjinal yang pendapatannya berada di bawah upah minimum dan garis kemiskinan.

Baca Juga :   Bapanas Umumkan Alasan Kenaikan Impor Beras 2024, Hadapi Penurunan Produksi dan Kenaikan Konsumsi

Survei Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa pendapatan rata-rata petani kecil di Indonesia kurang dari satu dolar AS per hari, atau sekitar 341 dolar AS per tahun. Carolyn menekankan bahwa keuntungan dari bercocok tanam padi sangat rendah dibandingkan dengan tanaman perkebunan atau hortikultura.

Kesimpulan

Tingginya harga beras di Indonesia dan rendahnya kesejahteraan petani menimbulkan pertanyaan serius mengenai efektivitas Bapanas dalam menangani isu ketahanan pangan. Sebagai lembaga yang diharapkan dapat menjadi solusi, Bapanas kini dituntut untuk mereformasi kebijakan dan strategi agar dapat lebih efektif dalam menyelesaikan masalah pangan dan memberikan kesejahteraan bagi para petani di tanah air. (Zan)