JagatBisnis.com – Penggunaan energi bersih dan terbarukan (EBT) dalam pabrik pemurnian atau smelter di Indonesia sedang mengalami transformasi signifikan. Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), mendorong industri smelter untuk beralih dari Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) berbasis fosil ke berbagai sumber EBT, termasuk Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) dan pembangkit lainnya.
Keberagaman Sumber Energi
Kepala Biro Komunikasi, Layanan Informasi Publik, dan Kerja Sama (KLIK) ESDM, Agus Cahyono Adi, menjelaskan bahwa PLTS tidak dapat beroperasi sendirian, terutama mengingat kebutuhan energi yang konstan untuk smelter. Oleh karena itu, pemerintah tengah merancang sistem ketenagalistrikan yang lebih beragam untuk memastikan ketersediaan energi yang berkelanjutan. “Kami tengah menyusun Rencana Umum Ketenagalistrikan Nasional (RUKN) dan Rencana Pengadaan Tenaga Listrik (RUPTL) untuk mengembangkan jaringan yang dapat memenuhi kebutuhan smelter,” ungkap Agus.
Teknologi Carbon Capture Storage
Selain memanfaatkan EBT, Indonesia juga berencana menerapkan teknologi carbon capture storage (CCS) untuk menangkap dan menyimpan emisi karbon. Ini menjadi langkah penting dalam mengurangi dampak lingkungan dari industri yang masih bergantung pada bahan bakar fosil. “Jika semua opsi tidak mencukupi, kita bisa menggunakan CCS untuk menyimpan karbon,” tambah Agus.
Komitmen Pemerintah
Menteri ESDM Bahlil Lahadalia menegaskan komitmen pemerintah untuk membangun industri yang berorientasi pada energi terbarukan. Salah satu contoh konkret adalah rencana konversi smelter nikel di Weda Bay untuk beralih ke PLTS mulai 2025. “Kami targetkan, pada 2030, minimal 60-70% smelter bisa beroperasi dengan EBT,” jelas Bahlil.
Kebijakan Perizinan yang Ketat
Pemerintah juga memperketat perizinan untuk pembangunan smelter yang memproduksi nikel pig iron (NPI). Semua smelter yang ingin beroperasi harus memenuhi syarat penggunaan energi baru dan terbarukan, minimal menggunakan gas. Kebijakan ini diharapkan mendorong industri untuk lebih bertanggung jawab terhadap lingkungan.
Implikasi Ekonomi
Bahlil mengakui bahwa peralihan ini dapat berdampak pada biaya investasi yang lebih tinggi. Namun, biaya tersebut diharapkan dapat terkompensasi oleh harga produk yang lebih tinggi. “Mahalnya capital expenditure (capex) bisa ditutupi oleh harga produk yang dihasilkan dari energi bersih, yang memang lebih tinggi dibandingkan dari energi fosil,” tandasnya.
Penutup
Transformasi menuju energi bersih dalam sektor smelter adalah langkah penting bagi Indonesia untuk mencapai tujuan keberlanjutan dan pengurangan emisi karbon. Dengan berbagai inisiatif yang sedang diimplementasikan, diharapkan Indonesia dapat menjadi pelopor dalam penggunaan energi terbarukan di industri mineral. (Mhd)