JagatBisnis.com – Gabungan Produsen Makanan dan Minuman (Gapmmi) menekankan perlunya revisi terhadap Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 yang mengatur pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan. Ketua Umum Gapmmi, Adhi S Lukman, mengungkapkan bahwa sejumlah ketentuan dalam regulasi tersebut dianggap memberatkan industri, khususnya yang berkaitan dengan pengendalian konsumsi Gula, Garam, dan Lemak (GGL).
Ketidakcocokan Pasal-Pasal dalam PP Kesehatan
Menurut Adhi, salah satu masalah utama adalah ketidakcocokan antara pasal-pasal dalam PP tersebut. Pasal 194 menetapkan standar untuk bahan-bahan yang berpotensi menyebabkan Penyakit Tidak Menular (PTM), sementara pasal 195 melarang penggunaan bahan yang dapat menyebabkan PTM. Adhi menilai adanya inkonsistensi ini dapat membingungkan pelaku industri dan menghambat operasional mereka.
“Harapan kami adalah agar PP ini direvisi, karena terdapat banyak ketidakcocokan dalam pasal-pasalnya. Sebagai contoh, pasal 194 mengatur standar bahan yang berisiko PTM, namun pasal 195 justru melarang penggunaan bahan tersebut,” jelas Adhi saat menghadiri pameran Fi Asia Indonesia di Jiexpo Kemayoran, Jakarta, pada Rabu (4/9).
Dampak pada Industri dan Konsumen
Adhi juga menegaskan bahwa penggunaan GGL adalah bagian integral dari proses produksi di industri makanan dan minuman. Ia menyebut bahwa mengkaitkan konsumsi GGL secara langsung dengan PTM seperti diabetes tidak sepenuhnya akurat. “Masalah utama sebenarnya adalah gaya hidup dan pola konsumsi yang tidak sehat. Ini yang perlu diperbaiki melalui edukasi, bukan dengan menyalahkan produk,” tambahnya.
Dia menegaskan bahwa industri makanan dan minuman sudah banyak melakukan reformulasi untuk mengurangi kadar GGL, terutama gula dalam minuman berpemanis. “Kami telah bekerja sama dengan Badan POM untuk menawarkan produk yang lebih sehat, termasuk lebih dari 200 SKU. Bahkan ada beberapa produk ekstrem yang diproduksi tanpa gula sama sekali,” ujarnya.
Kekhawatiran Terhadap Penerapan Cukai
Selain ketidakcocokan dalam pasal-pasal, PP Kesehatan juga mencakup rencana penerapan cukai untuk pangan olahan dan minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK). Adhi memperingatkan bahwa penerapan cukai ini dapat menyebabkan kenaikan harga produk akhir, yang pada akhirnya membebani konsumen dengan harga yang lebih tinggi.
“Cukai dapat menaikkan harga hingga 30%. Jika pemerintah memutuskan untuk menerapkan cukai Rp1.700 per liter untuk MBDK, dampaknya akan sangat signifikan,” ungkap Adhi. Ia menambahkan bahwa industri makanan dan minuman telah memberikan masukan kepada kementerian terkait mengenai kekhawatiran ini, namun hingga saat ini belum ada tanggapan.
“Kami telah menyampaikan kekhawatiran kami kepada pemerintah tentang banyaknya pasal yang tidak kondusif bagi industri. Kami telah memberikan masukan melalui Kementerian Perindustrian, namun sepertinya belum diakomodasi. Kami berharap hal ini dapat segera dibahas lebih lanjut,” tutupnya.
Dengan adanya revisi yang diusulkan, Gapmmi berharap regulasi ini dapat disesuaikan untuk lebih mendukung industri sambil tetap memprioritaskan kesehatan masyarakat. (Hky)