JagatBisnis.com – Tindak korupsi saat ini sudah semakin kompleks dan tumbuh subur di Indonesia. Hal itu terjadi setelah Indonesia memberlakukan konstitusi baru UUD NRI 1945 tahun 2002. Dimana, system politik menganut multi partai dan pasangan calon kepala daerah/wakil kepala daerah dipilih langsung oleh rakyat.
Demikianlah diungkapkan Ketua Aliansi Kebangsaan Pontjo Sutowo pada FGD Tata Nilai bertema “Urgensi Berantas Korupsi: Problematika dan Solusi”, secara daring, Jumat (23/8/2024).
Pontjo menjelaskan, pemilihan umum secara langsung dan kewenangan partai sebagai satu-satunya pintu masuk warga negara yang ingin duduk dalam pemerintahan di eksekutif maupun legislatif membuat peran dan posisi partai politik menjadi sangat menentukan. Sehingga jargon “power tends to corrupt” pun mulai berlaku. Posisi tawar partai politik menjadi sangat tinggi.
“Siapapun yang ingin menduduki jabatan kepala daerah maupun beberapa jabatan penting lainnya harus melakukan tawar menawar dengan partai politik. Apalagi, jabatan kepala pemerintahan baik pusat maupun daerah merupakan daya magnet yang sangat kuat untuk diperebutkan. Sementara itu, kekuatan partai terletak pada besarnya konstituen yang dapat dirangkulnya,” ucapnya.
Dia memaparkan, jiwa dagang para politisi yang ambisius pada akhirnya mendorong berani melakukan tindakan spekulatif, dengan menawarkan biaya mahar tinggi kepada partai agar dirinya dapat diusung memasuki ajang Pemilu. Jika menang, politisi itu wajib mengembalikan biaya sponsorship kepada yang mendukung.
“Jadi korupsi terjadi tidak hanya karena motivasi seseorang yang pada dasarnya memiliki “corrupted mindset”. Namun, korupsi dapat juga terjadi karena adanya kesempatan atau kelemahan sistem tata kelola yang berakibat tidak efektifnya sistem pengawasan yang seharusnya berlaku,” tegas Pontjo.
Menurut Pontjo, kini korupsi yang dilakukan tidak sekadar menumpuk kekayaan, tapi juga sudah berubah menjadi korupsi kekuasaan yang membentuk budaya baru. Bahkan, hukum sudah tidak mampu memecahkan persoalan dan mengatasi problem korupsi di Indonesia.
“Mungkin Indonesia harus mengembangkan Post Parliamentary Demokrasi, melalui media sosial yang disebut Digital Democracy dengan mengandalkan jargon “No Viral No Justice”. Karena saat ini media massa merupakan sarana ekspresi kedaulatan rakyat,” imbuhnya.
Sementara itu, ahli ekonomi
Prasetijono Widjojo MJ, menambahkan, semakin maraknya korupsi disebabkan oleh rendahnya komitmen berlaku jujur, berintegritas dan bertanggungjawab para oknum penyelenggara negara. Kejahatan korupsi dalam berbagai bentuk dan manifestasinya makin marak karena mulai pudarnya rasa malu
“Misalnya, seorang mantan koruptor bisa menjadi legislator atau pimpinan BUMN. Ini jelas merupakan atribut penghancuran budaya tata nilai, tata Kelola dan tata Sejahtera kehidupan mulia dan bermartabat bangsa,” katanya.
Ia menekankan perlunya perbaikan system tata Kelola dan mental karakter. Artinya bahwa pencegahan dan pemberantasan korupsi harus diarahkan bagi terwujudnya masyarakat anti korupsi melalui perbaikan system di semua lini layanan public, penguatan integritas masyarakat, peenegak hukum, penyelenggara negara serta penguatan system pencegahan.
Pada kesempatan yang sama, Sekjen Transparency Internasional Indonesia Danang Widoyoko menyatakan, upaya pencegahan korupsi tidak hanya fokus pada penegakan hukum. Karena integritas penegak hukum yang bermasalah justru membuat penegakan hukum bisa disalahgunakan.
“Pencegahan adalah aspek penting, tapi kurang menjadi perhatian. Karena itu perlu fokus melihat mekanisme insentif untuk mendorong pencegahan yang efektif. Tidak ada strategi yang one size fits all. Sehingga perlu strategi spesifik untuk sektor tertentu,” tutup Danang. (eva/jba)