JagatBisnis.com – Di tengah tekanan pasar akibat kelebihan pasokan (oversupply) dan penurunan harga nikel global, pemerintah menanggapi saran moratorium izin tambang dengan pendekatan yang hati-hati dan menyeluruh.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia menegaskan bahwa keputusan pemerintah akan berlandaskan pada kepentingan nasional yang lebih luas dan mempertimbangkan arah hilirisasi industri yang sedang dijalankan.
“Kami selalu berpikir tentang kepentingan rakyat dan bangsa secara komprehensif, tidak secara parsial,” ujar Bahlil dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (10/6).
Ia menekankan bahwa saran-saran seperti moratorium akan ditampung, namun keputusan akhir akan tetap mengikuti peta jalan hilirisasi nasional, khususnya yang mendukung praktik industri berkelanjutan dan ramah lingkungan.
“Kita sedang mendorong hilirisasi yang green, agar produk kita bisa diterima di pasar global,” tambahnya.
Tekanan dari Akademisi dan Ekonom
Dorongan moratorium datang dari sejumlah kalangan, termasuk Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, yang menilai perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap perizinan tambang, terutama di wilayah sensitif seperti Raja Ampat.
Bhima menyarankan agar pemerintah pusat membentuk tim moratorium yang melibatkan akademisi independen dan pemerintah daerah untuk meninjau ulang izin-izin yang ada.
“Ekspansi tambang yang berlebihan bisa berdampak negatif terhadap perekonomian lokal, terutama sektor pertanian dan perikanan,” jelas Bhima.
Ia juga mengingatkan bahwa meski pertambangan menjanjikan pemasukan, banyak daerah justru terbebani biaya pemulihan lingkungan dan kesehatan masyarakat yang meningkat akibat kerusakan ekosistem.
Harga Nikel Terjun, Industri Hilir Terdampak
Wacana moratorium semakin kuat setelah harga nikel global merosot sekitar 13,2% dalam beberapa waktu terakhir. Kelebihan pasokan, disertai pelemahan permintaan dari sektor hilir, memperburuk kondisi industri—terutama setelah dua produsen baja menghentikan sementara produksinya.
Padahal, Indonesia saat ini merupakan pemain utama dalam pasokan nikel global. Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian ESDM, Tri Winarno, menyebut bahwa Indonesia menyuplai sekitar 65% kebutuhan nikel dunia.
“Sebagian besar nikel kita terserap untuk produksi stainless steel, yang pasarnya banyak ke China. Saat industri di sana melambat, dampaknya langsung terasa,” jelas Tri dalam rapat dengan Komisi VII DPR RI. (Zan)