JagatBisnis.com – Meski penjualan mobil listrik (EV) baru di Indonesia terus menunjukkan tren pertumbuhan dari tahun ke tahun, kondisi tersebut belum tercermin di pasar mobil bekas. Para pelaku usaha di segmen kendaraan seken masih enggan melirik mobil listrik bekas sebagai komoditas dagangan.
Andi, pemilik showroom Jordy Motor di kawasan Mega Glodok Kemayoran (MGK), mengaku hingga kini belum menjual satu pun unit mobil listrik bekas. Alasannya sederhana namun krusial: nilai jual yang belum stabil.
“Saya tidak (menjual mobil listrik bekas). Karena harganya tidak stabil, pegang agak lama sedikit pasti rugi,” ungkapnya.
Pasar Belum Matang, Risiko Masih Tinggi
Pengamat otomotif dan dosen Institut Teknologi Bandung (ITB), Yannes Martinus Pasaribu, menilai rendahnya minat pada mobil listrik bekas mencerminkan pasar yang masih dalam tahap pembentukan.
“Ini mencerminkan ketidakpastian struktural pasar mobil bekas yang masih dalam tahap awal, sehingga belum terbentuk pola normalnya,” ujarnya.
Salah satu hambatan utama bagi calon pembeli adalah kekhawatiran terhadap kondisi baterai. Umur pakai baterai EV umumnya hanya sekitar 5–7 tahun, sementara biaya penggantiannya bisa mencapai 30% hingga 45% dari harga mobil baru.
“Sulit bagi pembeli untuk menilai kondisi baterai. Garansi pabrik juga biasanya sudah habis untuk mobil bekas, dan layanan bengkel EV di luar masa garansi masih sangat terbatas,” tambah Yannes.
Teknologi Terus Berkembang, Depresiasi Semakin Cepat
Depresiasi mobil listrik bekas juga diperparah oleh pesatnya perkembangan teknologi baterai. Mobil listrik keluaran baru sudah dibekali kemampuan fast charging, jangkauan lebih jauh, serta harga baterai yang semakin murah—menjadikan model lama cepat usang.
“Teknologi baterai lama cepat menjadi kuno. Penurunan harga baterai NMC dan LFP pada 2024–2025 juga turut menekan nilai jual kembali mobil listrik generasi sebelumnya,” jelasnya.
Harga Baru Disubsidi, Mobil Bekas Kehilangan Daya Saing
Subsidi pemerintah untuk pembelian mobil listrik baru membuat unit baru lebih menarik secara harga, sehingga mobil listrik bekas menjadi kurang kompetitif di mata konsumen. Selain itu, ekosistem pendukung seperti stasiun pengisian daya dan jaringan bengkel belum sepenuhnya merata, terutama untuk mobil di luar masa garansi.
“Resale value mobil listrik belum bisa disamakan dengan mobil konvensional (ICE). Paradigma nilai jual kembali yang terbentuk selama puluhan tahun belum berlaku di segmen EV,” tutur Yannes.
Kapan Mobil Listrik Bekas Akan Dilirik?
Menurut Yannes, kepercayaan masyarakat terhadap mobil listrik bekas hanya akan tumbuh jika ekosistem pendukung berkembang lebih matang. Beberapa faktor yang dibutuhkan meliputi:
-
Standar garansi baterai yang transparan
-
Layanan pembiayaan yang adil
-
Edukasi konsumen yang menyeluruh
-
Infrastruktur pengisian daya yang luas dan mudah diakses
“Kepercayaan akan tumbuh jika seluruh ekosistem EV berjalan selaras. Tanpa itu, pasar mobil listrik bekas akan terus bergerak lambat,” pungkasnya. (Mhd)