Konflik Sawit Meningkat di 2024, Riau Jadi Daerah Paling Rawan

Konflik Sawit Meningkat di 2024, Riau Jadi Daerah Paling Rawan

JagatBisnis.com – Konflik antara pelaku usaha dan masyarakat terus menjadi sorotan, terutama dalam industri yang berkaitan dengan sumber daya alam seperti perkebunan sawit. Sepanjang tahun 2024, tercatat 68 konflik sawit terjadi di berbagai daerah Indonesia, meningkat dari 60 konflik pada tahun 2023, menurut catatan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam).

Manajer Pengetahuan Elsam, Sueb Zakaria, mengungkapkan bahwa data konflik tersebut dikumpulkan melalui pemberitaan media, penelusuran mesin pencarian, serta validasi dari sumber independen. Wilayah dengan konflik terbanyak adalah Provinsi Riau, disusul oleh Jambi dan Bengkulu—yang semuanya merupakan pusat produksi kelapa sawit nasional.

“Riau kebetulan merupakan daerah dengan luas lahan sawit terbesar di Indonesia,” jelas Sueb.

Sengketa Lahan Jadi Akar Utama Konflik

Sebagian besar konflik sawit sepanjang 2024 berakar dari sengketa lahan, yang mencakup sekitar 70% dari total kasus. Persoalan lain mencakup masalah kemitraan yang tidak adil serta isu kerusakan lingkungan.

Selain itu, konflik juga sering kali terkait dengan isu ketenagakerjaan dan pelanggaran hak-hak buruh. Akibatnya, sebanyak 45 orang ditangkap, 34 mengalami kriminalisasi, dan 11 menjadi korban serangan fisik selama tahun lalu.

“Kriminalisasi biasanya melalui proses hukum lanjutan. Sementara penangkapan terjadi pasca-bentrokan, namun sebagian besar korban biasanya dilepaskan kembali,” kata Sueb.

Penyelesaian Konflik Masih Berat Sebelah

Sueb menyoroti bahwa jalur penyelesaian hukum tidak banyak membantu masyarakat. Proses pengadilan kerap memakan waktu lama, dan dalam banyak kasus, masyarakat kalah atau bahkan tidak mendapat eksekusi meski memenangkan gugatan.

“Kalaupun masyarakat menang, sangat jarang eksekusinya bisa dilakukan,” ujarnya.

Situasi ini mencerminkan perlunya reformasi kebijakan dan mekanisme penyelesaian konflik yang lebih berpihak pada keadilan sosial dan lingkungan. Tanpa langkah konkret, konflik agraria dan pelanggaran hak asasi manusia di sektor sawit berpotensi terus meningkat. (Hky)