JagatBisnis.com – Industri jasa minyak dan gas (migas) dalam negeri tengah menghadapi dampak negatif dari pelemahan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Setelah rupiah terjatuh ke level terburuknya pada Senin (7/4), mencapai Rp 17.217 per dolar AS, kondisi ini memberikan tantangan besar bagi sektor migas. Meskipun rupiah mengalami penguatan pada Jumat (11/4), banyak pihak yang menilai penguatan tersebut disebabkan oleh pelemahan dolar AS, bukan penguatan rupiah secara fundamental.
Moshe Rizal, Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Bumi (Aspermigas), menyampaikan bahwa meskipun rupiah menguat sedikit ke level Rp 16.790 pada akhir pekan, kondisi sektor migas tetap menghadapi fundamental yang tidak menguntungkan.
Pelemahan Rupiah dan Pengaruhnya terhadap Sektor Migas
Menurut Moshe, pelemahan rupiah bukanlah satu-satunya tantangan yang dihadapi industri migas. Salah satu faktor yang memperburuk situasi adalah kebijakan tarif yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, yang mendorong pemerintah Indonesia untuk meningkatkan impor migas.
“Meningkatkan impor memang salah satu cara untuk mengurangi tarif, tapi kita juga harus melihat dari sisi neraca perdagangan kita, jangan sampai impor justru mempengaruhi rupiah lebih jauh,” ujar Moshe.
Kebijakan peningkatan impor migas, terutama dari Amerika Serikat (AS), berpotensi memicu pelemahan lebih lanjut terhadap rupiah, yang pada gilirannya bisa memperburuk keseimbangan ekonomi nasional. Moshe juga menekankan pentingnya untuk membuktikan bahwa impor migas dari AS lebih menguntungkan dibandingkan impor dari negara lain seperti Uni Emirat Arab (UEA).
Dolar dan Rupiah: Ketimpangan yang Membebani Biaya Operasional
Masalah lain yang dihadapi adalah perbedaan mata uang yang digunakan dalam transaksi. Sebagian besar transaksi migas, termasuk impor bahan baku, menggunakan dolar AS, sementara penjualan domestik dilakukan dalam rupiah. Ketimpangan ini menciptakan gap yang semakin lebar, sehingga meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan-perusahaan migas.
“Impor migas pakai dolar atau euro, sementara kita jualan di dalam negeri pakai rupiah. Ini jadi gap yang makin lebar, dan itu akan menjadi beban biaya operasional,” ungkap Moshe.
Kebutuhan Stimulus Ekonomi untuk Menstabilkan Inflasi
Industri migas, seperti sektor lainnya, sangat menantikan stimulus ekonomi dari pemerintah guna menjaga inflasi dan menstabilkan perekonomian. Menurut Moshe, meski stimulus ekonomi diperlukan segera, langkah tersebut seharusnya telah dilakukan lebih awal, sebelum tarif impor dikenakan dan perang dagang antara AS dan negara lain semakin memanas.
“Stimulus harus dilakukan segera, tapi jika dilakukan sekarang, hasilnya tidak akan sebaik jika dilakukan lebih awal, sebelum tarif Trump dan perang dagang berlangsung,” jelasnya.
Keterlambatan dalam memberikan stimulus ekonomi ini bisa berisiko lebih besar dan berdampak panjang bagi stabilitas ekonomi Indonesia.
Risiko bagi Investor dan Sektor Migas
Selain dampak terhadap perekonomian, Moshe juga mengingatkan bahwa penurunan rupiah akan menambah risiko bagi investor yang berencana menanamkan modal di sektor migas Indonesia. Banyak investor akan mempertimbangkan fluktuasi nilai tukar dan potensi risiko lainnya sebelum membuat keputusan investasi.
“Pelemahan rupiah menambah risiko bagi investor. Investor akan mempertimbangkan itu. Pinjaman juga terhubung dengan tingkat suku bunga, yang sangat dipengaruhi kondisi politik dan ekonomi,” tutup Moshe.
Menghadapi Tantangan dengan Kebijakan yang Tepat
Secara keseluruhan, sektor migas Indonesia tengah menghadapi tantangan berat akibat pelemahan rupiah dan dampak dari kebijakan tarif impor. Pemerintah diharapkan untuk segera mengimplementasikan kebijakan yang dapat menjaga stabilitas ekonomi nasional dan mendukung sektor migas, mengingat pentingnya sektor ini bagi ketahanan energi dan perekonomian Indonesia. Keputusan yang cepat dan tepat akan sangat memengaruhi daya tarik investasi dan kelangsungan industri migas dalam negeri. (Zan)