JagatBisnis.com – Center of Economic and Law Studies (Celios) mengungkapkan ada 19 Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) milik PLN yang berpotensi menjadi objek dalam skema pertukaran utang pemerintah (debt swap). Langkah ini diusulkan sebagai bagian dari upaya untuk mendukung komitmen transisi energi Indonesia, yang diumumkan Presiden Prabowo di KTT G20 Brasil, guna beralih dari penggunaan pembangkit batubara dalam waktu 15 tahun.
Debt Swap Sebagai Solusi Fiskal untuk Pemensiunan PLTU Batubara
Dalam laporan yang berjudul “Pertukaran Utang dengan Pemensiunan PLTU Batubara: Manuver Fiskal dalam Mendukung Ambisi Transisi Energi”, Celios menyarankan agar pemerintah mempertimbangkan skema debt swap sebagai solusi untuk memensiunkan PLTU batubara secara bertahap. Skema ini dianggap penting karena keterbatasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang tidak memungkinkan pembiayaan langsung untuk pemensiunan PLTU.
Peneliti Ekonomi Celios, Bakhrul Fikri, mengemukakan bahwa untuk mewujudkan komitmen transisi energi yang ambisius, pembentukan tim khusus untuk membuka negosiasi dengan negara-negara maju G7 harus segera dilakukan. Hal ini dapat melalui skema Just Energy Transition Partnership (JETP) atau skema bilateral lainnya. Bakhrul menambahkan bahwa PLN dan kementerian terkait harus segera merancang peta jalan dan menyusun daftar PLTU Batubara yang akan dipensiunkan.
Daftar PLTU Potensial untuk Pensiun
Celios mencatat setidaknya ada 19 PLTU milik PLN yang dapat dipertimbangkan dalam skema pertukaran utang, termasuk PLTU Suralaya, Paiton, dan Ombilin. Bakhrul mengingatkan bahwa meskipun skema debt swap menawarkan potensi besar untuk pemensiunan PLTU batubara, ada sejumlah tantangan yang harus diatasi, terutama terkait dengan nilai utang yang dapat ditukar. Pengalaman sebelumnya menunjukkan bahwa nilai utang yang dapat dipertukarkan seringkali terbatas.
Tantangan dan Mitigasi dalam Implementasi Debt Swap
Salah satu tantangan utama dalam implementasi debt swap adalah memastikan bahwa nilai utang yang dapat ditukar cukup signifikan untuk mendukung pemensiunan PLTU. Selain itu, pemilihan lembaga independen yang akan memonitor dan memverifikasi proyek juga menjadi hal yang penting agar prosesnya transparan dan tidak terpengaruh oleh pihak kreditur. Bakhrul juga menekankan perlunya adanya transparansi kepada masyarakat yang terdampak oleh pemensiunan PLTU batubara, termasuk mengenai kompensasi yang akan diberikan.
Keterbatasan Anggaran Pemerintah
Tantangan terbesar dalam program pemensiunan PLTU batubara adalah keterbatasan anggaran pemerintah. Estimasi kebutuhan untuk memensiunkan PLTU batubara hingga 2050 diperkirakan mencapai Rp 444 triliun. Namun, kewajiban pembayaran bunga dan utang jatuh tempo pada tahun depan diperkirakan akan menyerap hingga 45% dari total APBN, sehingga anggaran yang tersedia untuk mendukung transisi energi semakin terbatas. Oleh karena itu, skema seperti debt swap dapat menjadi solusi fiskal yang sangat penting dalam mendukung transisi ini.
Dengan tantangan besar di hadapan Indonesia dalam memensiunkan PLTU batubara, skema pertukaran utang dengan negara maju menjadi langkah krusial untuk memastikan keberhasilan ambisi transisi energi yang ramah lingkungan di masa depan. (Hky)