Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025, Perlu Dipertimbangkan Ulang

Kenaikan PPN 12 Persen pada 2025, Perlu Dipertimbangkan Ulang.

JagatBisnis.com – Rencana pemerintah untuk menaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen pada awal tahun 2025, perlu dipertimbangkan ulang. Karena saat UU HPP dibentuk pada 2021, asumsi yang digunakan saat itu adalah pada tahun 2025 diperkirakan ekonomi sudah pulih. Bahkan, meningkat. Namun, nyatanya dari seluruh indikasi yang ada, kondisi ekonomi saat ini sedang kurang baik.

Demikianlah diungkapkan anggota Komisi XI DPR RI dari Fraksi PKS yang juga Ketua DPP PKS Bidang Ekonomi dan Keuangan Anis Byarwati di Jakarta, Senin (25/11/2024).

Menurut dia, Indonesia mengalami deflasi selama lima bulan, tren ini dimulai pada Mei 2024 dengan deflasi kecil sebesar 0,03 persen, diikuti 0,08 persen pada Juni, 0,18 persen pada Juli, 0,03 persen pada Agustus, dan 0,12 persen pada September. Sehingga deflasi ini menjadi sinyal daya beli masyarakat yang melemah.

Baca Juga :   Kemenkeu: Tak Semua Barang dan Jasa Kena PPN

“Apalagi, data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan, pertumbuhan ekonomi nasional kuartal III tahun 2024 melambat di angka 4,95 persen year on year (yoy). Konsumsi rumah tangga melambat, hanya naik 4,91 persen (yoy), lebih rendah dari kuartal sebelumnya yang sebesar 4,93 persen. Maka konsumsi masyarakat sangat membutuhkan berbagai stimulus dari pemerintah, agar membaik,” terang.

Dia menjelaskan, laporan BPS yang menunjukkan proporsi kelas menengah pada 2024 tercatat sebesar 47,85 juta jiwa, melorot dibandingkan periode prapandemi COVID19 pada 2019 yang mencapai 57,33 juta jiwa. Sehingga sebanyak 9,48 juta kelas menengah menjadi turun kelas. Sebaliknya, kelompok aspiring middle class atau kelas menengah rentan menunjukkan peningkatan jumlah, yakni dari 128,85 juta jiwa pada 2019 menjadi 137,5 juta jiwa pada tahun 2024.

Baca Juga :   Stimulus Positif untuk Sektor Properti di Era Pemerintahan Prabowo Subianto

“Apalagi, data yang dikeluarkan oleh Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker), sejak awal tahun hingga 15 November 2024, ada sekitar 64.288 tenaga kerja yang terkena PHK di Indonesia. Jumlahnya naik dari akhir Oktober yang tercatat sebesar 63.947 tenaga kerja. Jadi pascapandemi ini memang banyak industri yang tidak kembali pulih, PHK tertinggi dari sektor manufaktur, termasuk di industri tekstil,” imbuh Anis.

Anis mengatakan, dari kajian yang dilakukan oleh INDEF terkait skenario kenaikan tarif pajak pertambahan nilai (PPN) sebanyak 12% persen akan mengakibatkan kontraksi pada perekonomian Indonesia. Kenaikan PPN akan berdampak negatif terhadap ekonomi mulai dari dampak terhadap menurunnya pertumbuhan ekonomi, naiknya inflasi, turunya konsumsi rumah tangga, dan minusnya ekspor serta impor.

Baca Juga :   Sri Mulyani Bebaskan PPN Impor Alutsista, Perkuat Ketahanan Nasional

“Pemerintah masih terdapat ruang dalam UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) untuk mengkoreksi tarif PPN 12 persen yang berlaku di Januari 2024. Pada UU HPP pasal 7 ayat 3 dan ayat 4, disebut, tarif PPN dapat disesuaikan menjadi paling rendah 5 persen dan paling tinggi 15 persen dengan kebijakan negara yang diatur oleh PP dengan persetujuan DPR RI. Inilah ruang yang bisa digunakan dengan mempertimbangkan situasi ekonomi saat ini,” tutup Anis. (eva)