JagatBisnis.com – Dengan rata-rata pelanggan 10 juta orang setiap bulan, McDonald’s termasuk restoran cepat saji yang paling menguntungkan di Indonesia.
Tapi seperti brand ikonik Amerika lainnya, pemilik restoran cepat saji di Indonesia ini, kini cemas dengan kelangsungan bisnisnya.
Apalagi, sejak satu tahun yang lalu, aksi boikot produk Israel merebak. Produk perusahaan ikut dijauhi konsumen yang tak setuju dengan kebijakan Washington yang berkeras mendukung Israel, baik dalam pendanaan maupun senjata dan mesin-mesin perang.
Perubahan sikap konsumen tersebut menjadikan banyak gerai restoran cepat saji ini seketika sepi. Di banyak negara Muslim, perusahaan bahkan harus menutup sejumlah restaurannya untuk menghindari kerugian yang lebih dalam. Beberapa gerainya di Indonesia juga dikabarkan telah tutup.
Tapi siapa sebenarnya pemilik resto ini?
Tak banyak yang tahu, waralaba tersebut dimiliki dan dioperasikan oleh Group Sosro, konglomerasi bisnis yang lebih dulu populer dengan produk minuman teh instan, Teh Botol Sosro. Kini, afiliasi perusahaan ini sebagai pemegang hak waralaba resto ini di Indonesia dan induknya Amerika.
Sejak 2009, Rekso Group, yang memayungi seluruh bisnis Sosro, memegang hak penuh atas warabala restoran cepat saji ini di Indonesia. Ini setelah group berhasil mengambilalih kendali waralaba dari tangan Bambang Rachmadi, bankir dan pengusaha nasional. Terhitung di tahun itulah, 97 cabang yang sebelumnya dikuasai Bambang berpindah ke tangan Sosro.
Perusahaan ini sendiri menggunakan lengan bisnisnya khusus di sektor makanan cepat saji, PT Rekso Nasional Food, untuk mengoperasikan restoran cepat saji ini. Hubungan antara restoran cepat saji ini dan perusahaan air minum dalam kemasanan (AMDK) ini juga terlihat dengan promosi bundling (paketan) AMDK di seluruh gerai resto ini di Indonesia.
Namun, tak banyak informasi terkait berapa penghasilan perusahaan ini dari mengoperasikan resto ini di Indonesia yang kini hadir di lebih dari 300 lokasi. Namun sebagai gambaran, penjualan dari 97 gerai resto ini selama 18 tahun kurun 1991-2007, saat masih di tangan keluarga Bambang Rachmadi, mencapai Rp8 triliun. Dari angka itu, sebagian besarnya mengalir ke Amerika dalam bentuk pembayaran rutin biaya sewa waralaba dan royalti. (eva)