Tingkatkan Ketahanan Pangan, Indoneesia Bisa Belajar Teknologi dari Thailand dan Ethiopia

Tingkatkan Ketahanan Pangan, Indoneesia Bisa Belajar Teknologi dari Thailand dan Ethiopia

JagatBisnis.com – Hasil Sensus Pertanian 2023 Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan kondisi pertanian di Indonesia tidak banyak berubah selama 10 tahun terakhir. Bahkan, masih menghadapi berbagai masalah dan tantangan. Menghadapi berbagai masalah tersebut, maka penerapan sains dan teknologi yang paling produktif tetapi ramah lingkungan dalam pembangunan sektor pertanian merupakan suatu keniscayaan. Seharusnya, Indonesia bisa belajar dari pengalaman negara-negara lain seperti yang terjadi di Thailand dan Ethiopia.

“Terbukti, pemanfaatan sains dan teknologi di negara tersebut dapat mendorong pembangunan sektor pertanian dan peningkatan ketahanan pangan sebuah negara. Pengembangan dan penerapan teknologi dalam meningkatkan produktivitas komoditas pangan menjadi salah satu alasan mengapa Ethiopia bisa berkembang menjadi negara adidaya di bidang pertanian dan ketahanan pangan,” kata Ketua Aliansi Kebangsaan, Pontjo Sutowo, dalam FGD bertema, “Peningkatan Peran Sains dan Teknologi dalam Pembangunan Sektor Pertanian Indonesia digelar secara virtual, Jumat (13/9/2024).

Baca Juga :   Tingkat Kemiskinan di Indonesia pada Maret 2024 Capai Terendah dalam 10 Tahun Terakhir

Dia menjelaskan, penerapan sains dan teknologi pertanian modern telah memungkinkan petani untuk meningkatkan efisiensi produksi, mengurangi beban kerja manual, dan meningkatkan produktivitas secara keseluruhan. Selain itu, teknologi informasi dan komunikasi juga memainkan peran penting dalam menghubungkan petani dengan informasi pasar. Bahkan, dapat memfasilitasi akses ke platform belanja online yang berkontribusi pada peningkatan pemasaran dan penjualan produk pertanian.

Baca Juga :   Inflasi Juni 2024 Turun Menjadi 2,51% YoY, Deflasi Bulanan Terjadi

“Pemerintah memang berkomitmen untuk terus mendukung dan mendorong pengembangan sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi serta ramah lingkungan dengan tetap mengedepankan nilai-nilai kearifan lokal bangsa Indonesia. Meskipun ada komitmen itu, namun mekanisasi dan adopsi teknologi masih cukup rendah. Karena 87,59 persen rumah tangga petani masih memilih untuk menggunakan metode konvensional dalam bertani,” ungkapnya.

Menurut Ponjto, jika ada gangguan ketersediaan pangan dalam negeri, dapat dilakukan dengan kebijakan impor secara terbatas dengan tetap memperhatikan aspek kemandirian dan kedaulatan pangan sebagaimana diamanatkan oleh Undang-Undang No. 18 Tahun 2012 tentang Pangan. Oleh karena itu, kebijakan impor pangan harus dilakukan secara hati-hati untuk mencegah terjadinya apa yang disebut “state capture” atau “state capture corruption”.

Baca Juga :   Iptek untuk Membangun Ketahanan Pangan Nasional

“Seharusnya, dengan potensi sektor pertanian yang besar, Indonesia berpeluang untuk swasembada pangan dan tak perlu melakukan impor. Sayangnya, potensi besar ini belum diberdayakan secara optimal. Pembangunan sektor pertanian Indonesia hingga saat ini masih belum dapat menunjukkan hasil yang maksimal, jika dilihat dari tingkat kesejahteraan petani, menjaga ketahanan pangan, dan kontribusinya pada pendapatan nasional,” tutup Pontjo. (eva/jba)