Gapmmi Respons Penguatan Rupiah: Tantangan dan Peluang bagi Industri Makanan dan Minuman

Gapmmi Respons Penguatan Rupiah: Tantangan dan Peluang bagi Industri Makanan dan Minuman. foto dok gapmmi.id

JagatBisnis.com – Penguatan nilai tukar rupiah yang terjadi dengan cepat menjadi perhatian serius bagi Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (Gapmmi). Pada Selasa (20/8), nilai tukar rupiah tercatat di level Rp 15.436 per dolar AS, menguat 0,74% dibandingkan hari sebelumnya. Ini merupakan perubahan signifikan, mengingat pada bulan Juli lalu, rupiah masih berada di kisaran Rp 16.000 per dolar AS.

Ketua Umum Gapmmi, Adhi S. Lukman, memberikan pandangannya terkait dampak dari penguatan rupiah ini terhadap industri makanan dan minuman (mamin). Menurutnya, meski nilai tukar rupiah menguat, stabilitas kurs masih menjadi pertanyaan. “Kurs rupiah saat ini belum stabil, karena pergerakannya sangat bergantung pada kebijakan The Fed dan situasi Pemilu di AS,” ujar Adhi, Rabu (21/8).

Baca Juga :   GAPMMI Prediksi Tahun Depan Makanan dan Minuman Naik 5-7 Persen

Karena ketidakpastian ini, Adhi menyebut bahwa perusahaan-perusahaan di sektor mamin cenderung berhati-hati dan kemungkinan tidak akan segera menyesuaikan harga jual produk mereka. “Biasanya perusahaan tidak akan melakukan perubahan harga jual ketika kurs masih belum stabil,” tambahnya.

Meski demikian, Gapmmi tetap memandang tren penguatan rupiah ini secara positif. Adhi menjelaskan bahwa apresiasi rupiah sementara ini sedikit meringankan beban biaya produksi, terutama dalam pembelian bahan baku impor. Selain itu, biaya transportasi juga cenderung lebih rendah saat rupiah menguat. Namun, di sisi lain, penguatan rupiah juga memiliki dampak negatif, terutama terhadap pendapatan dari ekspor. “Pendapatan ekspor akan terdampak karena dolar AS yang melemah,” tandas Adhi.

Baca Juga :   Polemik Sodium Dehydroacetate pada Roti Aoka: GAPMMI Menanggapi

Tidak hanya itu, Gapmmi juga menyesuaikan target pertumbuhan sektor makanan dan minuman untuk tahun 2024. Target pertumbuhan yang semula dipatok pada kisaran 7%-9% seperti sebelum pandemi Covid-19, kini direvisi menjadi hanya 5%. Penurunan proyeksi ini dipengaruhi oleh daya beli masyarakat yang masih belum stabil, terutama di kalangan kelas menengah dan menengah ke bawah.

Baca Juga :   Industri Makanan dan Minuman Hadapi Tantangan Baru dengan Potensi Pengenaan Cukai pada Pangan Olahan

Dalam situasi ini, Gapmmi dan para pelaku industri mamin perlu terus memantau pergerakan kurs dan menyesuaikan strategi bisnis mereka agar tetap kompetitif di tengah dinamika ekonomi yang terjadi. Meskipun penguatan rupiah membawa sejumlah keuntungan, perusahaan tetap harus waspada terhadap dampak-dampak lain yang mungkin timbul, terutama dalam jangka panjang. (Mhd)