JagatBisnis.com – Rencana pemberian insentif fiskal untuk mobil hybrid di Indonesia kini mengalami hambatan, dengan potensi kenaikan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang bisa mempengaruhi tren penjualan kendaraan ini di Tanah Air. Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartanto telah memastikan tidak ada perubahan atau penambahan kebijakan baru di sektor otomotif untuk tahun ini, membuka kemungkinan penyesuaian tarif PPnBM untuk mobil hybrid.
Menurut Pasal 36b Peraturan Pemerintah (PP) No. 74 Tahun 2021 tentang PPnBM Kendaraan Bermotor, dasar pengenaan pajak (DPP) untuk mobil hybrid berpotensi mengalami perubahan setelah adanya realisasi investasi minimal Rp 5 triliun pada industri battery electric vehicle (BEV). DPP baru ini akan berlaku dua tahun setelah realisasi investasi atau ketika industri BEV mulai berproduksi massal.
Berlandaskan ketentuan ini, mobil hybrid dengan kapasitas silinder 3.000 cc yang memiliki emisi karbon CO2 kurang dari 100 gram per kilometer (km) dan konsumsi BBM lebih dari 23 km per liter bisa mengalami kenaikan PPnBM dari 8% menjadi 10%, sebagaimana tercantum dalam Pasal 26 PP 74/2024. Selain itu, mobil hybrid yang tercakup dalam Pasal 27 juga berpotensi mengalami kenaikan tarif PPnBM dari 7% sampai 11%, sementara tarif PPnBM untuk mobil mild hybrid dapat meningkat dari 8% menjadi 12%.
Ketua I Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Jongkie Sugiarto, menyatakan bahwa potensi penyesuaian harga mobil hybrid sebagai dampak dari perubahan kebijakan tarif PPnBM merupakan ranah masing-masing agen pemegang merek (APM). Meskipun ada kemungkinan kenaikan tarif PPnBM dan ketiadaan insentif fiskal, pasar mobil hybrid di Indonesia diyakini tetap berkembang. Hal ini disebabkan oleh beberapa keunggulan mobil hybrid yang tidak dimiliki oleh mobil listrik atau BEV, seperti tidak memerlukan stasiun pengisian daya dan memiliki efisiensi BBM yang tinggi dengan emisi yang lebih rendah dibandingkan mobil berbahan bakar fosil.
“Mobil hybrid juga cenderung lebih terjangkau dibandingkan sebagian besar mobil listrik,” ujar Jongkie, Kamis (8/8).
Sebagai catatan, penjualan wholesales mobil hybrid di Indonesia mengalami pertumbuhan signifikan sebesar 46,08% year on year (YoY), mencapai 24.066 unit pada semester I-2024. Meskipun ada kekhawatiran tentang dampak kenaikan tarif PPnBM terhadap penjualan, beberapa pelaku industri tetap optimis.
Sales & Marketing and After Sales Director PT Honda Prospect Motor (HPM), Yusak Billy, mengungkapkan bahwa kenaikan harga mobil hybrid sebagai akibat perubahan tarif PPnBM dan ketiadaan insentif fiskal dapat mempengaruhi penjualan di segmen ini. “Wacana kenaikan tarif pajak ini mungkin berdampak pada penjualan mobil hybrid,” imbuh Billy, Kamis (8/8).
Honda, yang saat ini memasarkan model CR-V dan Accord versi hybrid di Indonesia, juga membuka kemungkinan untuk memproduksi mobil hybrid di Tanah Air pada 2025 mendatang. Sementara itu, General Manager Great Wall Motor (GWM) Indonesia, Constantinus Herlijoso, mengatakan pihaknya masih memantau perkembangan regulasi dan akan mempertimbangkan berbagai aspek dalam penyesuaian harga jual mobil hybrid.
GWM percaya bahwa mobil hybrid adalah opsi yang tepat untuk saat ini dalam mendukung mobilitas ramah lingkungan. GWM juga berkomitmen untuk membangun ekosistem kendaraan energi baru (NEV) dengan meluncurkan model hybrid baru, Haval Jolion, yang akan diproduksi di fasilitas manufaktur Inchcape Indonesia di Wanaherang, Jawa Barat, mulai September mendatang.
Dengan potensi perubahan kebijakan dan penyesuaian harga, pasar mobil hybrid di Indonesia akan menghadapi tantangan baru, namun tetap berpotensi untuk tumbuh seiring dengan upaya industri dalam menyediakan solusi transportasi yang lebih ramah lingkungan dan terjangkau. (Hky)