JagatBisnis.com – Keputusan pemerintah untuk melanjutkan program Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) dihadapkan pada sejumlah tantangan serius, termasuk menurunnya ketersediaan pasokan gas pipa dalam negeri dan kenaikan harga Liquid Natural Gas (LNG) sebagai alternatif yang sulit bagi konsumen industri.
Program HGBT menetapkan harga gas bumi sebesar US$6 per MMBTU untuk 7 sektor industri tertentu, seperti pupuk, petrokimia, oleokimia, baja, keramik, gelas kaca, dan sarung tangan karet.
Achmad Widjaja, Ketua Koordinator Gas Industri KADIN Indonesia dan Wakil Ketua Umum Forum Industri Pengguna Gas Bumi (FIPGB), mengungkapkan bahwa penurunan produksi alami di sejumlah sumber gas, terutama di wilayah Barat yang menjadi pemasok utama industri, merupakan masalah yang telah dikenal bersama. Hal ini membuat implementasi HGBT dalam volume yang diharapkan menjadi tidak pasti.
“Mengingat situasi ini, kelimpahan cadangan gas bukan lagi topik utama karena pemerintah telah menyadari adanya penurunan ini,” ungkap Achmad dalam sebuah diskusi tentang Energi di Jakarta pada Kamis (11/7).
Menurut Achmad, yang dibutuhkan saat ini adalah kepastian mengenai skema dan kebijakan jangka menengah dan panjang untuk industri. Hal ini penting agar industri dapat merencanakan operasinya dengan jelas untuk beberapa tahun ke depan.
Ditambah lagi, rencana pemerintah untuk memperluas infrastruktur regasifikasi LNG di beberapa kawasan akan mempengaruhi kebijakan harga dengan meningkatkan kompleksitas dalam penentuan harga yang wajar.
Komaidi Notonegoro, Direktur Eksekutif Reforminer Institute, juga memperingatkan bahwa pemerintah perlu hati-hati dalam mengelola kebijakan gas bumi, terutama HGBT. Dia menyoroti kemungkinan ketergantungan pada LNG sebagai solusi terhadap penurunan produksi gas alam.
“Apakah pemerintah memiliki kemampuan fiskal untuk mengintervensi jika harga LNG mencapai US$10 per MMBTU sedangkan HGBT diatur sebesar US$6?” jelas Komaidi.
Poin krusial lainnya adalah kemungkinan impor penuh LNG sebagai bahan baku, yang dapat mengancam pasokan gas bagi industri di dalam negeri.
Komaidi menekankan perlunya kebijakan yang lebih bijaksana dan berkelanjutan, bukan sekadar penetapan harga dalam jangka pendek yang mungkin tidak berkelanjutan dalam jangka panjang.
Selain itu, pemerintah perlu transparan dalam menjelaskan tantangan yang dihadapi dan menggandeng semua pemangku kepentingan untuk mencari solusi yang adil. Keadilan bagi semua pihak, termasuk industri pengguna gas bumi serta sektor hulu, midstream, dan downstream migas, menjadi kunci dalam menyelesaikan masalah ini.
Dengan demikian, langkah-langkah strategis dan kolaboratif dari semua pihak terlibat diharapkan dapat menjamin kelangsungan industri dan kestabilan pasar energi di Indonesia ke depan. (Zan)