Dilema Tol Puncak: Tebus Tanah Mahal atau Libas Kawasan Lindung?

Ilustrasi puncak macet Foto: Merdeka

JagatBisnis.com –  Jalan Tol Puncak, solusi kemacetan yang diimpikan banyak orang, kini dihadapkan pada dua pilihan pelik: tebus tanah mahal atau libas kawasan lindung.

Kajian Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) menunjukkan dua opsi tersebut memiliki konsekuensinya masing-masing. Membeli tanah di kawasan Puncak yang padat penduduk dan memiliki nilai ekonomi tinggi akan memakan biaya fantastis. Di sisi lain, menerobos kawasan lindung Taman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS) berpotensi menimbulkan kerusakan lingkungan yang tak ternilai.

“Dilemanya, kalau kita tebus tanah, biayanya mahal sekali. Tapi kalau lewat kawasan lindung, ada konsekuensi lingkungan yang harus dipertimbangkan,” ungkap Endra S. Atmawidjaja, Direktur Jenderal Bina Marga Kementerian PUPR..

Baca Juga :   Harga Beras Masih Mahal di 28 Provinsi, Ancam Kesejahteraan Masyarakat

Tebus Tanah Mahal:

  • Biaya pembebasan lahan diperkirakan mencapai Rp 10 triliun.
  • Membutuhkan waktu lama karena negosiasi dengan pemilik tanah.
  • Potensi sengketa dan konflik sosial.
Baca Juga :   Penurunan Muka Tanah Mengancam Sejumlah Wilayah di Indonesia

Libas Kawasan Lindung:

  • Merusak habitat flora dan fauna di TNGHS.
  • Meningkatkan risiko bencana alam seperti longsor dan banjir.
  • Melanggar peraturan perundang-undangan tentang kawasan lindung.

Pemerintah masih menimbang kedua opsi tersebut dengan cermat. Kajian yang lebih mendalam, termasuk analisis dampak lingkungan dan sosial, akan dilakukan sebelum keputusan final diambil.

Jalan Tol Puncak: Solusi atau Ancaman?

Pembangunan Jalan Tol Puncak diharapkan dapat mengurai kemacetan yang sudah kronis di kawasan wisata favorit ini. Namun, proyek ini juga menuai pro dan kontra.

Baca Juga :   Penurunan Muka Tanah Mengancam Sejumlah Wilayah di Indonesia

Para pendukung proyek ini meyakini bahwa tol akan memperlancar akses ke Puncak, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan kualitas hidup masyarakat.

Namun, para penentang khawatir bahwa tol akan merusak lingkungan, memperparah alih fungsi hutan, dan memicu urbanisasi yang tidak terkendali. (tia)

MIXADVERT JASAPRO