JagatBisnis.com – Air minum kemasan telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan masyarakat perkotaan di Indonesia. Hal itu karena kepraktisan, jaminan mutu dan harga yang relatif terjangkau. Namun, konsumsi masif masyarakat terhadap aneka produk tersebut menimbulkan sampah plastik yang tak diinginkan di 10 kota besar di Indonesia, terutama air mineral kemasan gelas dan botol.
Lead researcher Net Zero Waste Management Consortium Ahmad Syafrudin mengatakan, dari riset yang dilakukan pihaknya, sampah plastik air mineral masuk dalam daftar 10 besar penyumbang sampah di Jakarta, Surabaya, Medan, Makassar, Bali dan Samarinda. Bahkan, sampah plastik itu ditemukan dalam volume yang besar bak/tong sampah, Tempat Pembuangan Sementara (TPS), truk sampah, Tempat Pembuangan Akhir (TPA), badan-badan air, tanah kosong, tepi jalan, pesisir, laut, dan banyak lagi.
Pada daftar sepuluh besar brand yang sampahnya paling banyak ditemukan, laporan menyebut porsi terbesar sebanyak 59.300 buah adalah serpihan plastik berbagai merek yang sudah tidak bisa teridenfikasi. Peringkat setelahnya adalah sampah kantong kresek ada 43.957 buah.
“Dua peringkat terbawah adalah sampah bekas sampoo saset dan bungkus kopi. Secara keseluruhan, sampah kesepuluh brand makanan dan minuman tersebut mencapai 17 persen dari total sampah yang berhasil diidentifikasi dalam riset,” katanya, di Jakarta, Jumat (12/1/2024).
Menurut dia, sampah kemasan produk konsumen ukuran kecil memang selalu jadi masalah terbesar di setiap TPA di enam kota besar tersebut. Meski secara tonase terlihat kalah dari sampah organik rumah tangga. Faktanya, sampah anorganik seperti kemasan plastik produk konsumen jauh lebih makan tempat dan volumenya selalu besar.
“Temuan riset mengindikasikan program pengurangan sampah oleh pemilik brand belum efektif,” tegasnya.
Dia menjelaskan, sampah botol plastik produk minuman sebenarnya bernilai ekonomis. Sehingga tak seharusnya tercecer di pembuangan sampah atau lingkungan terbuka. Sayangnya, bank sampah yang digadang-gadang menjadi tulang punggung dalam skema Circular Economy (CE) pengelolaan sampah, belum berjalan efektif di semua kota.
“Kami mendapati bank sampah di banyak kota belum efektif menyerap sampah dengan residual value tinggi sekalipun. Karena sebagian besar masih bekerja ala kadarnya. Demikian halnya pemulung dan pelapak hanya menyerap sampah dengan residual value tinggi saja. Sementara sampah dengan residual rendah dibuang ke TPS/TPA/pinggir jalan/badan-badan air bahkan dibakar (open burning),” terangnya. (eva)