China Biayai Proyek Migas di Afghanistan, Waspada Jebakan Utang

Ilustrasi bendera Afganistaan-China Foto: Global Times

JagatBisnis.com Di tengah ancaman krisis energi, China incar minyak Afghanistan. Diawali investasi Xinjiang Central Asia Petroleum and Gas Co (CAPEIC), perusahaan migas China senilai US$540 juta, setara Rp8,1 triliun (kurs Rp15.000/US$).

Pihak CAPEIC mendekati pemerintah Afghanistan yang dimpimpin Taliban, demi menggolkan investasi pengembangan ladang minyak dan gas (migas) selama 25 tahun.

Melalui akun twitter-nya, juru bicara Taliban, Zabihullah Mujahid menuturkan bahwa CAPEIC tertarik investasi US$150 juta (Rp2,25 triliun) per tahun di Afghanistan, berdasarkan kontrak. Dan, Pemerintah Afghanistan menggenggam 20 persen saham.

Menanggapi fenomena ini, Dewan Pimpinan Pusat Pelajar Islam Indonesia (DPP PII) menilai, terbongkar sudah alasan diplomat China tidak ikut melarikan diri seperti perwakilan negara-negara dunia lainnya, ketika kelompok Taliban menguasai Afghanistan.

Wakil Bendahara DPP PII, Furqan Raka mengatakan, strategi China berdiam diri di tengah gelombang eksodus besar-besaran dari Afghanistan, ternyata ada peluang bisnis migas. Saat ini, Afghanistan sepenuhnya dikuasai kelompok Taliban.

Baca Juga :   26 WNI di Afganistan Berhasil Dievakuasi oleh Pemerintah Indonesia

“Harus diakui, China pintar sekali memanfaatkan situasi di Afghanistan pasca dikuasai kelompok Taliban. Kini, Beijing mungkin sudah dianggap saudara oleh Taliban, sehingga kerja sama strategis mulai terjalin antar kedua negara,” kata Furqan, Jakarta, dikutip Jum’at (20/1/2023).

Kerja sama eksplorasi minyak Afghanistan, lanjut Furqan, tentunya menjadi salah satu penyangga energi untuk proyek-proyek strategis serta ambisi China menguasai dunia.

Termasuk proyek strategis dan ambisi China yakni Belt and Road Initiative (BRI), di mana Beijing berusaha mengintegrasikan Eurasia dengan membangun jalan lintas benua dan rel kereta api. Serta membangun rute logistik baru yang memungkinkan barang keluar dan masuk dari China.

“Bukan hanya itu, Beijing juga butuh energi dari minyak menggerakkan mesin-mesin proyek mereka di sejumlah wilayah yang diklaim milik China, seperti pulau-pulau di Laut China Selatan,” tutur Furqan.

Baca Juga :   China Laporkan Tambahan 140 Kasus Baru COVID-19

Asal tahu saja, kesepakatan eksplorasi minyak China itu, merupakan investasi skala besar pertama yang dilakukan di Afghanistan, sejak Taliban berkuasa pada Agustus 2021. Menyusul penarikan pasukan Amerika Serikat (AS), setelah 20 tahun berada di wilayah tersebut.

Saat ini, baru China sebagai yang berhasil menjalin kerja sama migas di Afghanistan. Tentunya ini menjadi angin segar bagi Beijing di tengah ancaman krisis dan keamanan energi di dunia.

Masih kata Furqan, kajian DPP PII menyebutkan bahwa infrastruktur serta peralatan militer China, mulai kapal perang hingga pesawat tempur yang sering berseliweran di kawasan Laut China, memerlukan energi yang berasal dari minyak bumi.

DPP PII berharap pemerintah Afghanistan lebih cermat dan berhati-hati, jangan sampai terjebak kerja sama dengan China yang banyak dinilai negara-negara di dunia, sebagai jebakan utang.

Baca Juga :   Reaksi China Dituduh AS Ingin Miliki 1.500 Hulu Ledak Nuklir

Saat ini, lebih dari 40 negara berpenghasilan rendah dan menengah, memiliki utang ke China. Porsi utang ke China, cukup mengkhawatirkan karena lebih dari 10 persen PDB mereka. Termasuk Djibouti, Laos, Zambia, dan Kirgistan yang berutang ke China hingga 20 persen dari PDB-nya.

Utang-hutang dari BUMN, bank, serta usaha patungan atau lembaga swasta China inilah yang kemudian dianggap sebagai “jebakan utang” atau “utang tersembunyi”.

Lantaran China tidak pernah mempublikasikan catatan pinjaman luar negerinya, dan sebagian besar kontraknya mengandung klausul non-disclosure yang mencegah peminjam mengungkapkan isinya. “Hati-hati dengan tawaran perjanjian kerja sama dengan China, bisa jadi ini jebakan utang, seperti yang menimpa beberapa negara di dunia,” kata Furqan. (tia)

MIXADVERT JASAPRO