Ini Alasan Fraksi PKS Tolak Hasil Pembahasan RUU HKPD

Anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi PKS, Anis Byarwati

JagatBisnis.com – Fraksi PKS DPR RI menolak hasil pembahasan RUU Hubungan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah (HKPD). Karena RUU tersebut belum memenuhi amanat UUD 1945, terutama dalam Pasal 18A Ayat 2. Dimana, hadirnya RUU ini seharusnya bertujuan untuk mengatur keuangan pusat dan daerah secara adil dan selaras dengan undang-undang demi kesejahteraan masyarakat.

Anggota Komisi XI DPR RI, Fraksi PKS, Anis Byarwati menjelaskan, ada 11 masukan dan catatan penolakan Fraksi PKS sebagai satu-satunya partai yang menolak RUU HKPD. Penolakan itu juga sebagai pertanggungjawabannya kepada masyarakat. Sebelas poin tersebut merupakan ringkasan dari 16 poin yang pada hari Selasa (23/11/2021) telah dipaparkan dalam rapat bersama Kementrian Keuangan, Kementerian Perdagangan, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian Hukum dan HAM serta DPD.

“RUU harus memperkuat arah re-sentralisasi. Itu yang paling penting dan mendasar. Karena sejatinya, RUU HKPD adalah desentralisasi fiskal sesuai dengan Otonomi Daerah. Maka, Pemerintah Daerah diberi kekuasaan untuk mengatur dan membangun daerahnya sendiri. Sehingga desentralisasi ini yang mewadahi inovasi dan potensi daerahnya,” kata Anis dalam keterangan tertulis yang diterima di Jakarta, Sabtu (27/11/2021).

Baca Juga :   Tanggapan PKS Putusan MK soal UU Cipta Kerja

Anis menjelaskan, RUU HKPD memang sudah cukup lama dibahas di DPR. Dalam pembahasan, dari 104 perubahan, hanya 14 poin saran Fraksi PKS yang diakomodir. Salah satu yang tidak diakomodir adalah pembebasan Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) roda dua bagi rakyat. Masukan ini dinilai sebagai salah satu yang krusial karena kendaraan beroda dua banyak digunakan sebagai moda mata pencaharian masyarakat.

Baca Juga :   DPR Bakal Kawal Implementasi Perlindungan Pekerja Migran

“Keinginan pemerintah pusat ini tidak menjawab dengan kebutuhan daerah. Dalam kunjungan kerja ke daerah, kami sudah mendengar keberatan-keberatan dari Pemda. Namun RUU ini posisinya sudah masuk ke Timus dan Timsin. RUU ini sangat memberatkan mereka, terutama dalam pembatasan penggunaan fiskal,” terangnya.

Menurutnya, dalam laporan yang dirilis BPK menunjukkan 80,7 persen daerah, belum termasuk dalam kategori mandiri. Oleh sebab itu, seharusnya RUU ini membuka keran pemerintah mengeluarkan obligasi daerah yang berpotensi meningkatkan beban negara secara keseluruhan. Apalagi selama Covid-19, utang negara terus meningkat.

Baca Juga :   Politisi PKS: Harus Ada Keadilan Dalam Kewajiban Membayar Pajak

“Kami sudah mengkaji secara mendalam terkait utang tersebut. Negara saat ini sudah terlilit utang dengan jumlah yang besar. Kami pun bertanya, apakah negara mampu mengelola utang dalam jumlah besar itu? Lalu, anggupkah negara mewadahi 400 lebih daerah yang meminta utang. Seharusnya dalam pengelolaan fiskal, pusat cukup mengawasi saja,” tegas Anis. (eva)

MIXADVERT JASAPRO