Soal Wacana Hukuman Mati, Kejagung Bilang Begini

JagatBisnis.com – Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana menilai wacana penerapan hukuman mati oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin adalah hanya sebuah jargon politik untuk mempertahankan eksistensinya.

“Pengguliran wacana hukuman mati hanya jargon politik. Kalau kita berkaca pada kualitas penegakan hukum yang mereka lakukan, hasilnya masih buruk. Jadi, apa yang diutarakan tidak sinkron dengan realita yang terjadi,” katanya.

Ia juga mempertanyakan apakah kualitas penegakan hukum oleh aparat penegak hukum sudah menggambarkan situasi yang ideal untuk memberikan efek jera kepada koruptor. Namun faktanya itu belum terjadi dan masih banyak yang harus diperbaiki.

Baca Juga :   9 Jaksa Ditunjuk Kejagung untuk Usut Perkara Indra Kenz

Pakar Hukum Universitas Pelita Harapan, Rizky Karo Karo ikut menanggapi pidana mati dalam Undang-undang Pemberantasan Tipikor masih berlaku (asas legalitas) dengan syarat dalam hal tindak pidana korupsi dilakukan dalam keadaan tertentu.

Baca Juga :   Begini Alasan Kejagung Tuntut Mati Terdakwa ASABRI

“Jika melihat dari Penjelasan Pasal 2 ayat (2) UU P Tipikor, Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ dalam ketentuan ini dimaksudkan sebagai pemberatan bagi pelaku tindak pidana korupsi apabila tindak pidana tersebut dilakukan pada waktu negara dalam keadaan bahaya sesuai dengan undang-undang yang berlaku,” jelasnya.

Sementara Pengamat Hukum Universitas Gajah Mada (UGM) Muhammad Fatahillah Akbar menyebut bahwa hukuman mati selama ini belum terbukti memberikan efek jera bagi para koruptor. Karena seharusnya dalam penegakan hukum kasus korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian dan lebih baik hukuman seumur hidup.

Baca Juga :   Kasus Gagal Ginjal Anak Mulai Diselidiki Kejagung

“Seharusnya memang dalam korupsi, fokus utamanya adalah pengembalian kerugian daripada hukuman mati. Hukuman seumur hidup atau 20 tahun juga cukup,” pungkasnya. (pia)

MIXADVERT JASAPRO