Perludem Heran, Pemerintah Ikut Usulkan Hari Pemilu

JagatBisnis.com – Dinamika tarik ulur antara pemerintah dan Komisi Pemilihan Umum (KPU) terkait hari pemungutan suara pada Pemilihan Legislatif (Pileg) dan Pemilihan Presiden (Pilpres) 2024 menjadi sorotan Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem). Anehnya lagi, pemerintah ikut mengusulkan hari pemungutan suara. Padahal, sebelumnya, hari pemungutan suara hanya ditentukan berdasarkan keputusan KPU.

“Saya merasa heran, karena baru pertama kali ini pemerintah itu menyodorkan tawaran hari pemungutan suara. Padahal, dalam kasus ini tak ada perubahan undang-undang pemilu, maupun pilkada. Sehingga aturan penentuan tanggal pemilu masih merujuk UU sebelumnya, baik UU pemilu maupun pilkada,” kata Anggota Dewan Pembina Perludem, Tiri Anggraini, Sabtu (16/10/2021).

Kondisi itu, terang Titi, hingga saat ini setidaknya menyebabkan sejumlah implikasi. Pertama, muncul wacana soal ketidakpastian pelaksanaan pemilu serentak 2024, baik pileg, pilpres, maupun pilkada. Kemudian, muncul pula wacana pemilu serentak tersebut dibatalkan.

Baca Juga :   Pilpres 2024, PDIP Ajukan Puan Jadi Capres

“Munculnya wacana tersebut menjadi kontraproduktif. Sebab sejak awal, publik mengharapkan pemilu kali ini mendapat kepastian karena menjadi pemilu paling kompleks sejak reformasi. Ini adalah agenda elektoral paling besar, rumit, komplek, sepanjang sejarah elektoral Indonesia. Tetapi justru, permulaannya agak kurang kondusif,” katanya.

Baca Juga :   PKB Optimistis, Elektabilitas Muhaimin Iskandar Bisa Saingi Ganjar

Menurutnya, hingga saat ini pemerintah, KPU, dan DPR belum menentukan hari pemungutan suara, usai rapat konsinyering terakhir awal Oktober lalu dibatalkan. Pemerintah dan KPU mengusulkan tanggal yang berbeda. Lewat Kemendagri, pemerintah usul pilpres dan pileg digelar pada 15 Mei. Sedangkan, KPU usul pileg dan pilpres digelar lebih awal pada 21 Februari.

Baca Juga :   PKP Punya Kesempatan untuk Perbaiki Syarat Kepesertaan Pemilu Usai Gugatannya Dikabulkan Bawaslu,

“Salah satu argumen mengapa tidak mengubah UU Pemilu, supaya kita ini kerangka hukumnya pasti. Tidak setiap 5 tahun sekali mengubah UU. Dan kita bisa persiapan lebih awal. Tapi memang faktanya baru pertama kali di era reformasi ada seolah-olah deadlock,” tambah Titi. (*/esa)

MIXADVERT JASAPRO