JagatBisnis.com – Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) di Indonesia semakin meluas dan kini tak hanya menyasar industri padat karya seperti tekstil, garmen, dan sepatu, tetapi juga mulai menjalar ke sektor lain seperti elektronik, otomotif, media, dan ritel.
Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Nusantara (KSPN), Ristadi, mengungkapkan bahwa fenomena ini tidak hanya terjadi di Indonesia, melainkan juga menjadi tren global akibat melemahnya daya beli masyarakat.
“Ancaman PHK kini meluas ke berbagai sektor industri. Ini bukan hanya fenomena dalam negeri, negara lain juga mengalaminya,” ujar Ristadi, Rabu (14/5).
Data PHK Tidak Seragam, Banyak Kasus Tak Tercatat Resmi
Ristadi juga menyoroti ketidaksesuaian data PHK antara versi pemerintah dan serikat pekerja. Menurutnya, angka resmi dari pemerintah cenderung lebih kecil karena tidak adanya verifikasi menyeluruh terhadap seluruh perusahaan, serta banyaknya perusahaan yang enggan melaporkan PHK secara terbuka.
“Banyak perusahaan tertutup dan tidak melaporkan PHK sesungguhnya,” jelasnya.
Data Terkini: Lebih dari 61.000 Pekerja Terdampak
KSPN mencatat sebanyak 61.356 pekerja telah mengalami PHK di seluruh sektor selama periode Januari hingga awal Maret 2025.
Sementara itu, data dari Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) mencatat 73.992 peserta BPJS Ketenagakerjaan keluar akibat PHK pada 1 Januari–10 Maret 2025. Dari jumlah tersebut, 40.683 pekerja telah mencairkan Jaminan Hari Tua (JHT).
Faktor Utama: Permintaan Menurun dan Biaya Produksi Naik
Survei yang dilakukan Apindo terhadap 350 perusahaan anggota pada 17–21 Maret 2025 menunjukkan penurunan permintaan menjadi faktor utama PHK, dengan kontribusi sebesar 69,4%.
Faktor lainnya mencakup:
-
Kenaikan biaya produksi: 43,3%
-
Perubahan regulasi ketenagakerjaan (terutama upah minimum): 33,2%
-
Tekanan produk impor murah: 21,4%
-
Otomatisasi dan adopsi teknologi: 20,9%
Solusi: Proteksi Pasar Dalam Negeri & Reformasi Industri
Untuk menekan angka PHK, Ristadi menekankan pentingnya perlindungan terhadap industri nasional, terutama dari serbuan barang impor berharga murah.
Ia juga mendorong langkah-langkah strategis seperti:
-
Modernisasi teknologi industri
-
Pemberian insentif pajak
-
Penyediaan energi dengan harga bersaing
-
Kebijakan pro-industri yang berkelanjutan
“Dengan demikian, industri bisa bertahan bahkan berkembang untuk menyerap tenaga kerja baru,” tutup Ristadi.
Perkembangan ini menjadi peringatan bagi pemangku kebijakan dan pelaku industri untuk segera merumuskan strategi bersama dalam menghadapi tekanan ekonomi global dan menjaga stabilitas ketenagakerjaan nasional. (Mhd)