JagatBisnis.com – Indonesia tengah bersiap menghadapi musim kemarau 2025, yang diprediksi lebih singkat dari biasanya namun tetap membawa dampak serius, mulai dari kekeringan hingga memburuknya kualitas udara.
Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG), Dwikorita Karnawati, mengingatkan bahwa kombinasi suhu tinggi, curah hujan yang minim, serta pergerakan angin yang stagnan berpotensi meningkatkan risiko polusi udara, terutama partikulat halus PM 2.5.
“Tantangan ini tidak bisa dihadapi oleh satu lembaga atau sektor saja,” ujar Dwikorita, dikutip dari situs resmi BMKG, Senin (12/5/2025).
Pemantauan Kualitas Udara Real-Time
Untuk mengantisipasi dampak lingkungan dan kesehatan, BMKG telah menyediakan pemantauan kualitas udara secara real-time melalui aplikasi Info BMKG, yang bisa diakses oleh masyarakat luas. Aplikasi ini diharapkan dapat menjadi alat mitigasi dini dalam menghadapi kondisi udara yang memburuk.
Dwikorita menegaskan pentingnya kolaborasi lintas sektor, melibatkan kementerian, lembaga, akademisi, komunitas, hingga pelaku usaha guna memperkuat sistem peringatan dini dan menjaga ketahanan kesehatan masyarakat di tengah perubahan iklim.
“Kita sedang berpacu dengan waktu. Semakin cepat kita bertindak, semakin besar peluang kita menyelamatkan masyarakat dari dampak paling buruk perubahan iklim,” tegasnya.
Musim Kemarau Tidak Terjadi Serentak
BMKG mencatat bahwa awal musim kemarau 2025 telah dimulai sejak April, namun tidak terjadi serempak di seluruh wilayah Indonesia. Pada bulan tersebut, sebanyak 115 zona musim (ZOM) telah memasuki musim kemarau. Jumlah ini diperkirakan terus meningkat pada Mei dan Juni, mencakup wilayah Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Kalimantan, hingga Papua.
Fenomena iklim global seperti El Nino-Southern Oscillation (ENSO) dan Indian Ocean Dipole (IOD) saat ini dalam fase netral, sehingga tidak ada gangguan besar dari Samudra Pasifik maupun Hindia setidaknya hingga pertengahan tahun ini.
Meski begitu, BMKG mengamati suhu muka laut di wilayah Indonesia lebih hangat dari normal, dan kondisi ini bisa bertahan hingga September 2025, yang berpotensi memengaruhi cuaca lokal.
Puncak Kemarau dan Prediksi Kekeringan
BMKG memperkirakan puncak musim kemarau akan terjadi pada Juni hingga Agustus 2025, dengan puncak kekeringan diprediksi melanda wilayah Jawa bagian tengah dan timur, Kalimantan, Sulawesi, Bali, Nusa Tenggara, dan Maluku pada bulan Agustus.
Terkait karakteristik kemarau tahun ini:
-
60% wilayah akan mengalami kemarau dengan sifat normal.
-
26% wilayah mengalami kemarau lebih basah dari biasanya.
-
14% wilayah mengalami kemarau lebih kering dari normal.
Meskipun durasinya cenderung lebih pendek secara nasional, terdapat 26% wilayah—terutama di sebagian Sumatera dan Kalimantan—yang justru akan mengalami musim kemarau lebih panjang dari biasanya. (Hky)