JagatBisnis.com – Pemerintah tengah mengkaji usulan penyesuaian tarif royalti atau iuran produksi batubara bagi pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) kelanjutan kontrak. Sekretaris Direktorat Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM, Siti Sumilah Rita Susilawati, mengungkapkan bahwa saat ini pemerintah sedang melakukan pembahasan bersama Kemenko Marves, Kemenkeu, dan Kementerian ESDM terkait usulan ini.
“Asosiasi pertambangan telah mengajukan usulan penyesuaian tarif royalti berdasarkan rentang Harga Batubara Acuan (HBA) dan kalori batubara, sesuai dengan Pasal 16 PP No. 15/2022 dan Kepmen 227/2023,” ujar Rita pada Selasa (3/9). Ia menambahkan bahwa usulan tersebut harus sesuai dengan Pasal 169A UU No. 3/2020, yang menyatakan penerimaan negara dari IUPK perpanjangan kontrak tidak boleh turun dibandingkan masa PKP2B.
Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, mengkritik tarif royalti saat ini yang dianggap terlalu tinggi dan memberatkan. Menurutnya, pungutan yang besar dapat memengaruhi biaya operasional tambang dan menghambat pengembangan cadangan baru. “Pungutan yang tinggi berpotensi mengganggu ketahanan cadangan batubara dan efisiensi penambangan,” kata Gita.
Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai bahwa tarif royalti yang berlaku saat ini, baik untuk pemegang IUP, IUPK-KOP, dan PKP2B, sangat menantang di tengah tren harga komoditas batubara yang menurun. “Beban biaya operasional yang meningkat dan kewajiban penempatan 30% DHE di bank dalam negeri semakin memperburuk situasi,” jelas Hendra.
Sementara itu, Head of Corporate Communication PT Adaro Energy Indonesia, Febriati Nadira, menyambut baik kemungkinan penyesuaian royalti yang mempertimbangkan ketahanan energi. “Kami berharap regulasi bisa mendukung perusahaan nasional seperti Adaro untuk tetap eksis dan berkontribusi pada negara,” ujar Febriati.
Di sisi lain, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, berpendapat bahwa tarif royalti yang diatur dalam PP 26 Tahun 2022 masih relevan. “Tarif tersebut mempertimbangkan tingkat kalori dan fluktuasi harga batubara, jadi penyesuaian tidak diperlukan saat ini,” katanya.
Kementerian Keuangan mencatat penurunan 21,8% pada realisasi Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari sektor SDA nonmigas pada Juli 2024 dibandingkan tahun lalu. Kementerian ESDM juga melaporkan bahwa PNBP mineral dan batubara memberikan kontribusi terbesar untuk sektor ESDM pada tahun 2023.
Kajiannya, penyesuaian tarif royalti akan mempengaruhi berbagai pihak dan industri batubara secara keseluruhan, menimbulkan tantangan dan harapan untuk menyeimbangkan kebutuhan penerimaan negara dengan keberlangsungan industri. (Mhd)