JagatBisnis.com – Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) Indonesia tengah berada dalam kondisi yang mengkhawatirkan, terutama di sektor hulu yang menjadi tulang punggung rantai pasok nasional. Penurunan utilitas produksi, derasnya arus impor, serta ketidakpastian kebijakan membuat masa depan industri ini kian buram.
Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), Redma Gita Wirawasta, mengungkapkan bahwa utilisasi produksi dari 23 perusahaan anggota asosiasi telah anjlok ke bawah 50%.
“Sekarang rata-rata hanya 45%. Ada yang hanya beroperasi 30%, bahkan ada yang sudah berhenti produksi,” ungkap Redma.
Investasi Mandek, Produksi Serat dan Benang di Titik Kritis
Sektor hulu TPT sejatinya memiliki kapasitas besar: 800.000 ton per tahun untuk serat rayon dan 840.000 ton untuk poliester dan benang filamen. Namun, kapasitas tersebut belum sepenuhnya termanfaatkan akibat berbagai hambatan, termasuk minimnya dukungan kebijakan.
Salah satu pukulan berat datang dari keputusan pemerintah yang tidak melanjutkan pengenaan Bea Masuk Anti Dumping (BMAD) atas produk benang filamen sintetis dari Tiongkok, meskipun hasil penyelidikan resmi menunjukkan adanya praktik dumping oleh lebih dari 38 perusahaan asal negara tersebut, dengan marjin mencapai 42%.
Pemerintah Dinilai Abai Lindungi Industri Dalam Negeri
Pemerintah berdalih bahwa kapasitas produksi dalam negeri belum mencukupi kebutuhan industri pengguna. Menteri Perdagangan Budi Santoso menyebut banyak produsen di sektor hulu memproduksi untuk keperluan internal, bukan pasar luas.
Namun, argumen ini dikritik keras oleh APSyFI. Sekretaris Jenderal Farhan Aqil Syauqi menantang pemerintah membuka data resmi produksi dan impor, sambil menunjukkan lonjakan impor benang filamen hingga 200% dalam enam tahun terakhir berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS).
“Kondisi ini tidak hanya menekan industri, tetapi juga mengancam rencana investasi besar di sektor benang filamen polyester,” kata Farhan.
Rantai Dampak: Dari Benang ke Petrokimia
Tidak berhenti di sektor tekstil saja, tekanan akibat kebijakan impor juga menjalar hingga ke industri hulu petrokimia. Investasi senilai US$ 250 juta untuk pengembangan fasilitas produksi bahan baku polyester kini tertunda.
Redma menyatakan, “Kalau pemerintah tak menciptakan iklim yang adil, kepercayaan investor akan hilang. Jangan terus menjadikan kondisi global sebagai alasan; biang masalah ada pada kebijakan nasional.”
Dugaan Mafia Impor dan Harapan Baru di Bea Cukai
Meningkatnya volume impor benang dan kain dalam beberapa tahun terakhir menimbulkan kecurigaan adanya praktik curang dalam tata niaga. Redma mendesak pembenahan sistem perizinan impor serta pengawasan ketat terhadap mekanisme Persetujuan Impor (PI) dan Pertimbangan Teknis (Pertek).
Sebagai catatan, impor benang melonjak dari 130.000 ton pada 2008 menjadi 467.000 ton pada 2024. Sementara impor kain meningkat dari 294.000 ton menjadi 873.000 ton dalam periode yang sama.
Melihat kondisi ini, Redma menyambut positif penunjukan Djaka Budi Utama sebagai Direktur Jenderal Bea dan Cukai yang baru.
“Kami berharap, dengan latar belakang militer dan intelijen, beliau bisa tegas memberantas praktik impor ilegal yang merusak industri nasional,” pungkasnya. (Mhd)