Ekspor Sawit Indonesia Didominasi Produk Hilir, Gapki Soroti Dampak Kenaikan Pungutan Ekspor

Ekspor Sawit Indonesia Didominasi Produk Hilir, Gapki Soroti Dampak Kenaikan Pungutan Ekspor

JagatBisnis.com – Jakarta – Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), Eddy Martono, menyampaikan bahwa ekspor minyak sawit Indonesia kini didominasi oleh produk hilir, seiring meningkatnya aktivitas industri pengolahan dalam negeri.

Berdasarkan data Gapki, total ekspor sawit Indonesia pada periode Januari–Februari 2025 mencapai 4,76 juta ton. Dari angka tersebut, ekspor terbesar berasal dari Refined Palm Oil (RPO) atau minyak sawit olahan, yang mencapai 3,52 juta ton.

“Saat ini, ekspor minyak sawit Indonesia sudah mayoritas dalam bentuk produk hilir. Ekspor CPO hanya sekitar 10%,” ujar Eddy kepada Kontan.co.id, Minggu (18/5).

Rincian Komposisi Ekspor Sawit:

  • Refined Palm Oil (RPO): 3,52 juta ton

  • Produk Oleokimia: 752.000 ton

  • Crude Palm Oil (CPO): 285.000 ton

  • Refined Palm Kernel Oil (PKO): 193.000 ton

  • Crude PKO: 3.000 ton

  • Biodiesel: 1.000 ton

RPO merupakan produk hasil penyulingan (refining) dari CPO yang telah melewati proses pemurnian untuk meningkatkan kualitasnya dan memenuhi standar ekspor global.

Gapki Minta Kenaikan Pungutan Ekspor Ditunda

Pemerintah melalui kebijakan terbaru telah resmi menaikkan tarif pungutan ekspor (PE) CPO dan turunannya dari 7,5% menjadi 10%, berlaku mulai 17 Mei 2025. Namun, Gapki menyatakan keberatan terhadap keputusan tersebut.

Eddy menilai bahwa kebijakan ini dapat melemahkan daya saing ekspor sawit Indonesia di pasar global, terutama di tengah ketidakpastian ekonomi dan kondisi geopolitik yang sedang tidak kondusif.

“Gapki telah mengirimkan surat resmi agar kenaikan PE ditunda sementara, mengingat kondisi global yang tidak stabil. Saat ini ada tekanan dari tarif tinggi Amerika Serikat, serta ketegangan geopolitik seperti konflik India-Pakistan,” jelas Eddy.

Ia menambahkan, India dan Pakistan merupakan dua negara tujuan ekspor sawit terbesar setelah Tiongkok. Gejolak di kawasan tersebut bisa berdampak signifikan terhadap permintaan ekspor Indonesia. (Zan)