JagatBisnis.com – PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN) resmi mengajukan permohonan kepada pemerintah untuk memperpanjang izin ekspor konsentrat dan katoda tembaga. Langkah ini diambil lantaran fasilitas pemurnian (smelter) milik perusahaan belum mencapai tahap operasi penuh.
Masa berlaku izin ekspor sebelumnya telah habis pada 31 Desember 2024, sementara smelter yang tengah dikembangkan masih dalam fase kalibrasi dan stabilisasi untuk menuju operasional yang optimal.
Usulan Pendekatan Hybrid
Presiden Direktur AMMN, Alexander Ramlie, menjelaskan bahwa karena kapasitas smelter belum memadai untuk menyerap seluruh hasil produksi, perusahaan mengusulkan pendekatan hybrid—yaitu kombinasi antara ekspor dan peningkatan kapasitas produksi secara bertahap.
“Kami telah mengajukan permohonan resmi kepada pemerintah Indonesia agar mengizinkan ekspor katoda tembaga dan konsentrat selama masa ramp-up smelter, demi menjaga kelangsungan usaha,” ujar Alexander dalam keterangan tertulis, Senin (12/5).
Menurutnya, perpanjangan izin akan memberikan fleksibilitas yang diperlukan agar arus kas perusahaan tetap stabil selama masa transisi.
Pemerintah: Tidak Ada Relaksasi Ekspor Tanpa Keadaan Kahar
Namun demikian, pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) belum memberikan lampu hijau. Direktur Pembinaan dan Pengusahaan Mineral, Tri Winarno, menegaskan bahwa izin ekspor hanya dapat diberikan dalam kondisi kahar, seperti bencana atau kerusakan berat.
“Tidak ada relaksasi ekspor. Yang ada adalah keadaan kahar yang memungkinkan ekspor. Ramp-up smelter bukanlah keadaan kahar,” ujarnya.
Produksi dan Kinerja Keuangan Tertekan
Produksi AMMN memang mengalami penurunan tajam pada kuartal I-2025. Volume konsentrat tercatat hanya 79.741 ton kering, merosot 55% dari periode yang sama tahun lalu. Produksi tembaga jatuh 62% menjadi 37 juta ton, dan produksi emas merosot menjadi 32.340 ons dari sebelumnya 166.536 ons.
Direktur Keuangan AMMN, Arief Sidarto, menjelaskan bahwa kuartal pertama merupakan masa transisi, dengan fokus penambangan pada zona luar Fase 8 dan dominasi bijih berkadar rendah.
Lebih lanjut, belum adanya penjualan selama kuartal tersebut turut menekan performa keuangan. EBITDA tercatat negatif US$42 juta, dengan rugi bersih mencapai US$138 juta.
Meski demikian, Arief menegaskan bahwa perusahaan telah menyiapkan strategi efisiensi dan optimistis terhadap pemulihan kinerja.
“Smelter kami kini mulai beroperasi, dan kapasitasnya akan meningkat secara bertahap. Kami tetap optimis terhadap prospek keuangan ke depan,” pungkasnya. (Mhd)