Harga Minyak Anjlok ke Level Terendah Sejak 2021, Tekanan Datang dari Langkah OPEC+

Harga Minyak Anjlok ke Level Terendah Sejak 2021, Tekanan Datang dari Langkah OPEC+

JagatBisnis.com – Harga minyak global kembali tertekan di awal pekan ini, merosot lebih dari US$1 per barel dan mencatat level penutupan terendah dalam lebih dari empat tahun.

Sentimen negatif muncul setelah OPEC+ memutuskan untuk mempercepat kenaikan produksi, memicu kekhawatiran atas potensi lonjakan pasokan di tengah ketidakpastian prospek permintaan energi global.

Pada perdagangan Senin (5/5), harga minyak mentah Brent untuk kontrak pengiriman Juli 2025 ditutup melemah US$1,06 atau 1,7% ke level US$60,23 per barel. Sementara itu, minyak mentah jenis West Texas Intermediate (WTI) untuk kontrak pengiriman Juni 2025 ikut turun US$1,16 atau 2% menjadi US$57,13 per barel. Keduanya menandai penutupan terendah sejak Februari 2021.

Sepanjang pekan lalu, harga Brent telah turun 8,3%, sedangkan WTI terkoreksi 7,5%. Tekanan ini dipicu oleh pernyataan Arab Saudi yang menyatakan siap menghadapi harga minyak rendah dalam jangka panjang, yang mengimbangi sentimen positif dari potensi negosiasi tarif antara Amerika Serikat dan Tiongkok.

Langkah OPEC+ untuk mempercepat kenaikan produksi kembali menjadi fokus utama pasar. Sabtu lalu, kelompok produsen ini sepakat untuk meningkatkan produksi sebesar 411.000 barel per hari (bph) pada Juni 2025 — bulan kedua berturut-turut percepatan produksi.

Secara total, peningkatan selama April, Mei, dan Juni 2025 akan mencapai 960.000 bph, atau setara dengan pemangkasan 44% dari pengurangan 2,2 juta bph yang disepakati sejak 2022.

Menurut analis Third Bridge, Peter McNally, langkah ini bisa menekan peluang produsen di luar OPEC+ untuk memperluas pangsa pasar mereka, terutama jika harga terus turun dan pasokan meningkat.

Di balik keputusan ini, terdapat dinamika internal yang memanas. Sumber menyebut Arab Saudi mendorong pengakhiran pemotongan produksi lebih cepat sebagai bentuk tekanan terhadap anggota seperti Irak dan Kazakhstan yang dianggap tidak disiplin dalam mematuhi kuota produksi. Namun, analis Saxo Bank, Ole Hansen, melihat bahwa peningkatan produksi ini juga merupakan strategi untuk menantang dominasi pasokan minyak serpih dari Amerika Serikat.

Langkah OPEC+ ini pun memicu revisi proyeksi harga oleh sejumlah lembaga keuangan. Barclays menurunkan proyeksi harga Brent untuk tahun 2025 sebesar US$4 menjadi US$66 per barel, dan untuk 2026 menjadi US$60. ING juga memangkas proyeksi harga rata-rata Brent tahun ini menjadi US$65 per barel dari sebelumnya US$70.

Tekanan terhadap harga minyak semakin diperparah oleh ekspektasi peningkatan stok global serta lemahnya permintaan bahan bakar. Jim Ritterbusch dari Ritterbusch and Associates menyoroti risiko dari kebijakan tarif baru di era Trump, sementara David Wech dari Vortexa mencatat bahwa sejak Februari, terdapat lonjakan hingga 150 juta barel stok minyak mentah yang tersimpan di darat dan di kapal tanker.

Kondisi ini juga menimbulkan kekhawatiran di kalangan pelaku industri energi. CEO Weatherford International, Girish Saligram, memperingatkan bahwa jika harga minyak jatuh di bawah US$50 per barel, sejumlah keputusan investasi penting untuk proyek-proyek lepas pantai dapat tertunda. (Mhd)