JagatBisnis.com – Kebijakan tarif tinggi yang diterapkan Presiden Amerika Serikat, Donald Trump, kembali menuai kritik tajam. Alih-alih melindungi industri dalam negeri, kebijakan ini justru mendorong lonjakan impor dan memperlebar defisit perdagangan barang AS secara signifikan pada Maret 2025.
Data terbaru dari Biro Sensus Departemen Perdagangan AS yang dirilis Selasa (29/4) menunjukkan, defisit perdagangan barang meningkat 9,6% menjadi US$ 162 miliar. Lonjakan ini sebagian besar disebabkan oleh naiknya impor barang yang mencapai US$ 342,7 miliar—naik US$ 16,3 miliar dibanding bulan sebelumnya.
Lonjakan impor tersebut diduga kuat dipicu oleh kepanikan pelaku usaha yang bergegas mendatangkan barang sebelum tarif besar-besaran dari pemerintahan Trump benar-benar diberlakukan.
Sementara itu, ekspor barang AS hanya mencatatkan kenaikan tipis sebesar US$ 2,2 miliar, menjadi US$ 180,8 miliar. Ketimpangan ini menunjukkan bahwa perdagangan menjadi salah satu faktor utama yang menekan pertumbuhan ekonomi AS di kuartal pertama 2025.
Sejumlah ekonom memperingatkan bahwa lonjakan impor—termasuk emas nonmoneter—dapat memberikan gambaran yang lebih buruk dari kondisi riil perekonomian, karena dalam perhitungan produk domestik bruto (PDB), impor dihitung sebagai pengurang.
Rilis awal data PDB kuartal pertama dijadwalkan pada Rabu (30/4), bertepatan dengan 100 hari masa kepemimpinan Trump. Survei yang dilakukan Reuters terhadap para ekonom memperkirakan pertumbuhan PDB AS hanya sebesar 0,3% secara tahunan, laju paling lambat sejak kuartal kedua 2022. Bahkan, Federal Reserve Atlanta memperkirakan PDB menyusut sebesar 0,4% setelah memperhitungkan faktor emas dalam ekspor dan impor.
Selain beban dari sektor perdagangan, ketidakpastian yang ditimbulkan oleh kebijakan tarif Trump—yang kerap dianggap tidak konsisten—telah menyeret AS ke dalam perang dagang dengan Tiongkok dan dikhawatirkan memperlambat laju pertumbuhan ekonomi lebih lanjut. (mhd)