JagatBisnis.com – Pemerintah resmi menerbitkan dua regulasi baru terkait penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), yang secara langsung mengubah struktur tarif royalti komoditas mineral dan batubara (minerba).
Regulasi pertama, Peraturan Pemerintah (PP) No. 18 Tahun 2025, merevisi PP No. 15 Tahun 2022 yang mengatur perlakuan perpajakan dan/atau PNBP pada usaha pertambangan batubara. Sementara PP No. 19 Tahun 2025 menetapkan jenis dan tarif PNBP di lingkungan Kementerian ESDM, dan akan mulai berlaku efektif pada 26 April 2025.
Salah satu perubahan utama dalam beleid tersebut adalah kenaikan tarif royalti batubara untuk kategori tertentu. Contohnya, batubara dengan kalori <4.200 Kkal/Kg dari tambang terbuka kini dikenai tarif 5%–9%, naik dari sebelumnya 5%–8%. Untuk kalori 4.200–5.200 Kkal/Kg, tarifnya menjadi 7%–11,5% dari sebelumnya 7%–10,5%. Sementara itu, batubara kalori tinggi (>5.200 Kkal/Kg) tidak mengalami perubahan dan tetap dikenakan tarif 9,5%–13,5%.
Respons Beragam dari Pelaku Industri
Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI), Gita Mahyarani, menyatakan bahwa pihaknya masih mempelajari aturan ini secara menyeluruh.
“Anggota kami siap mematuhi regulasi pemerintah, namun tetap perlu kajian mendalam untuk mengoptimalkan cadangan dan penerimaan negara,” ujarnya, Kamis (17/4).
Senada dengan itu, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menyebut perusahaan tambang harus menghitung ulang beban operasionalnya.
“Perubahan tarif ini bisa berdampak pada studi kelayakan, perhitungan cadangan, hingga dokumen lingkungan seperti Amdal,” jelas Hendra.
Sementara itu, pelaku usaha di sektor nikel juga bersiap melakukan penyesuaian. Djoko Widajatno dari Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI) menekankan pentingnya efisiensi untuk menjaga harga pokok penjualan (HPP) di bawah harga patokan mineral (HPM).
“Selain efisiensi peralatan, hilirisasi dan diversifikasi komoditas juga jadi kunci keberlanjutan usaha,” ujarnya.
Skema Dinamis Diusulkan, Efisiensi Ditingkatkan
Wakil Ketua Umum Asosiasi Pemasok Energi, Mineral, dan Batubara Indonesia (Aspebindo), Fathul Nugroho, menyambut baik pendekatan tarif dinamis yang menyesuaikan dengan harga komoditas global.
“Jika harga naik, tarif ikut naik. Tapi kalau harga turun, tarif juga harus ikut menyesuaikan. Ini adil bagi semua pihak,” ungkap Fathul.
Namun, ia mengingatkan pentingnya renegosiasi kontrak jangka panjang dan penyesuaian harga jual untuk menghindari tekanan likuiditas. Efisiensi operasional, seperti penggunaan truk tambang bertenaga listrik yang diklaim 40% lebih hemat, juga masuk dalam strategi adaptasi industri.
Peringatan dari Sisi Akademisi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), Bisman Bakhtiar, menilai kebijakan ini muncul sebagai respons atas tekanan fiskal akibat defisit APBN.
“Kita memahami kebutuhan negara akan penerimaan tambahan, tapi jangan sampai beban royalti ini membuat pelaku usaha menunda ekspansi atau bahkan melakukan PHK,” kata Bisman.
Ia menambahkan, tantangan bagi pelaku usaha saat ini cukup kompleks—mulai dari harga komoditas yang belum sepenuhnya pulih, kenaikan PPN, hingga kebijakan devisa hasil ekspor (DHE).
Dengan berbagai tantangan ini, pelaku industri minerba kini dihadapkan pada kebutuhan untuk menyusun ulang prioritas strategis demi menjaga kesinambungan operasional dan kontribusi terhadap perekonomian nasional. (Hky)