Diterpa Tarif Impor AS, Sawit RI Terancam Tergeser Malaysia – Pemerintah Didorong Negosiasi Ulang

Diterpa Tarif Impor AS, Sawit RI Terancam Tergeser Malaysia – Pemerintah Didorong Negosiasi Ulang

JagatBisnis.com – Amerika Serikat mencatat defisit perdagangan sebesar US$ 19,3 miliar terhadap Indonesia. Sebagai respons, pemerintah AS menerapkan tarif impor resiprokal terhadap sejumlah produk asal Indonesia, termasuk minyak sawit, dengan tarif yang mencapai 32%.

Kebijakan ini dikhawatirkan akan menggerus pangsa pasar sawit Indonesia di Negeri Paman Sam, yang selama ini menjadi salah satu tujuan ekspor strategis.

Dampak Tarif: Harga Naik, Konsumsi Turun

Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PASPI), Tungkot Sipayung, menilai bahwa kebijakan tarif tinggi ini akan berdampak langsung terhadap kenaikan harga sawit di pasar AS.

“Naiknya harga tersebut akan menurunkan konsumsi sawit di AS, yang pada akhirnya membuat impor sawit dari Indonesia ikut menurun,” ujar Tungkot, Kamis (10/4).

Kondisi ini membuka peluang bagi negara pesaing seperti Malaysia untuk mengisi kekosongan pasar. Malaysia dianggap lebih kompetitif karena beban tarifnya lebih rendah dibanding Indonesia.

“Jika tarif impor sawit AS terhadap Indonesia mencapai 32%, maka sebagian pangsa pasar bisa saja dialihkan ke negara lain seperti Malaysia,” imbuhnya.

Trump Longgarkan Tarif: Ada Harapan

Dalam perkembangan terbaru, Presiden Donald Trump mengumumkan pelonggaran tarif terhadap Indonesia, dari 32% menjadi 10%, dan bahkan menerapkan penghentian sementara tarif selama 90 hari untuk sebagian besar negara—dengan pengecualian bagi China.

Langkah ini dianggap sebagai peluang yang harus dimanfaatkan Indonesia untuk memperkuat posisinya di pasar global.

“Kalau ingin meningkatkan ekspor sawit ke AS, maka tarif resiprokal dari Trump perlu dinegosiasikan agar diturunkan,” tegas Tungkot.

Strategi Mitigasi: Dari Negosiasi Hingga Green Fuel

Tungkot juga menyampaikan beberapa strategi mitigasi untuk menjaga dan memperluas pasar ekspor sawit Indonesia di tengah tekanan tarif global:

  1. Negosiasi Tarif Dagang: Dorong diplomasi aktif agar tarif sawit Indonesia di AS bisa terus diturunkan atau bahkan dihapuskan.

  2. Relaksasi Hambatan Ekspor: Pertimbangkan penurunan bea keluar dari US$ 125/ton menjadi US$ 75–100/ton, serta pelonggaran aturan non-tarif seperti DMO/DPO.

  3. Penurunan PPN TBS Petani: Untuk memperkuat daya saing produk di tingkat hulu.

  4. Diversifikasi Pasar: Perluasan ekspor ke negara lain seperti Tiongkok, yang kini tengah melakukan retaliasi terhadap produk pertanian asal AS.

  5. Deregulasi Investasi Sawit: Relaksasi program Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) dan kemudahan investasi di sektor hilir.

  6. Pengembangan Energi Berbasis Sawit: Dorong peningkatan program biodiesel B40 ke B50 dan pengembangan green fuel sebagai alternatif energi terbarukan berbasis sawit.

“Relaksasi dan penyesuaian kebijakan ini tidak hanya untuk meredam dampak dari kebijakan Trump, tetapi juga sebagai upaya strategis memanfaatkan momentum global demi memperkuat posisi Indonesia dan industri sawit nasional,” tutup Tungkot. (Hky)