JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia kembali mendorong hilirisasi batubara dalam bentuk Dimethyl Ether (DME) sebagai substitusi Liquefied Petroleum Gas (LPG), sebagai bagian dari kebijakan Presiden Prabowo Subianto di awal masa kepemimpinannya. Melalui Satgas Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang dipimpin oleh Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Bahlil Lahadalia, pemerintah telah menyetujui 21 proyek hilirisasi tahap awal, dengan empat di antaranya berfokus pada produksi DME.
Selain DME, proyek hilirisasi lain meliputi besi, alumina, aluminium, tembaga, dan nikel. Dengan empat proyek DME, batubara menjadi komoditas yang memiliki jumlah proyek hilirisasi terbanyak dibandingkan mineral lainnya. DME yang akan diproduksi berbahan baku batubara low kalori ini diharapkan dapat mengurangi ketergantungan impor LPG dan memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Proyek DME: Investasi Besar dengan Tantangan Pendanaan
Bahlil Lahadalia menjelaskan bahwa proyek DME akan menjadi investasi terbesar dalam rangka hilirisasi batubara, dengan estimasi biaya mencapai US$ 11 miliar untuk empat proyek DME. Kendati demikian, proyek ini juga menghadapi tantangan besar, terutama terkait pendanaan. Investasi ini diperkirakan akan melibatkan campur tangan Danantara, yang diharapkan dapat membuka peluang pendapatan negara melalui royalti batubara.
Namun, pemerintah belum merevisi Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang disahkan pada 30 Desember 2022, yang menetapkan tarif royalti 0% untuk perusahaan batubara yang melakukan hilirisasi, termasuk dalam proyek gasifikasi DME. Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, memperingatkan bahwa kebijakan ini dapat mengakibatkan potensi kehilangan penerimaan negara hingga Rp 33,8 triliun per tahun jika proyek DME berjalan sesuai proyeksi.
Risiko dan Tantangan Proyek DME
Bhima Yudhistira juga menyoroti risiko tinggi yang dihadapi oleh proyek hilirisasi batubara ini. Dia mengingatkan bahwa kegagalan proyek hilirisasi sebelumnya, seperti mundurnya Air Products & Chemical Inc (APCI) dari proyek DME bersama PT Bukit Asam dan PT Pertamina, menunjukkan bahwa proyek ini sulit menarik investor akibat biaya tinggi dan ketidakpastian pasar.
Selain itu, Bisman Bachtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi Pertambangan (Pushep), mempertanyakan kelayakan penggunaan dana negara melalui Danantara untuk proyek ini. Ia menilai bahwa keterbatasan anggaran pemerintah dan risiko tinggi proyek ini perlu dipertimbangkan dengan hati-hati, mengingat banyak sektor lain yang lebih mendesak untuk didanai.
Keekonomian DME dan Kepastian Regulasi
Bisman juga mengingatkan bahwa proyek DME, yang direncanakan untuk menggantikan LPG, mungkin akan menghadapi tantangan keekonomian. Jika harga LPG turun atau pasokan dalam negeri meningkat, DME bisa menjadi kurang menguntungkan dan membutuhkan subsidi tambahan.
Sementara itu, Hendra Sinadia, Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA), menekankan bahwa proyek DME bersifat jangka panjang, dengan durasi yang bisa mencapai 25 tahun atau lebih. Oleh karena itu, regulasi yang konsisten dan kepastian fiskal serta non-fiskal akan menjadi kunci keberhasilan proyek ini.
Kesimpulan
Pemerintah Indonesia telah menetapkan hilirisasi batubara, khususnya proyek DME sebagai prioritas, namun tantangan besar terkait investasi, pendanaan, serta keberlanjutan ekonomi proyek ini tetap menjadi perhatian. Dengan pengawasan yang tepat dan regulasi yang konsisten, pemerintah berharap proyek hilirisasi ini dapat memberikan manfaat jangka panjang dan mengurangi ketergantungan pada impor energi. Namun, keberhasilan proyek DME sangat bergantung pada dukungan stabil dan risiko yang terkelola dengan baik. (Hky)