JagatBisnis.com – PT Pertamina (Persero) menanggapi tuduhan oplosan Bahan Bakar Minyak (BBM) RON 90 Pertalite dan RON 92 Pertamax yang beredar terkait dugaan kasus korupsi yang tengah diselidiki oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Vice President Corporate Communication Pertamina, Fadjar Djoko Santoso, dengan tegas membantah adanya tindakan oplosan tersebut dan memastikan bahwa kualitas BBM yang dijual kepada masyarakat sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh Direktorat Jenderal (Dirjen) Minyak dan Gas (Migas) Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM).
“Untuk kualitas BBM, kami pastikan bahwa yang dijual ke masyarakat itu sesuai dengan spesifikasi yang sudah ditentukan oleh Dirjen Migas. RON 92 itu Pertamax, RON 90 itu artinya Pertalite,” ujar Fadjar dalam keterangannya di Kantor DPD Jakarta pada Selasa (25/2).
Tuduhan oplosan tersebut muncul dalam dugaan kasus korupsi dalam tata kelola minyak mentah dan produk kilang PT Pertamina (Persero) periode 2018-2023. Fadjar menambahkan bahwa tuduhan tersebut tidak sesuai dengan penyelidikan Kejagung. Ia menjelaskan bahwa yang sebenarnya dipermasalahkan adalah pengadaan RON 92 oleh PT Pertamina Patra Niaga, yang terjadi setelah salah seorang tersangka, Riva Siahaan, melakukan pembelian produk BBM RON 92, namun yang diterima di lapangan ternyata hanya RON 90 atau produk dengan kualitas lebih rendah, lalu dicampur (blending) di depot atau storage untuk mencapai kadar RON 92.
“Di Kejaksaan mungkin, kalau boleh saya ulangkan, lebih mempermasalahkan tentang pembelian RON 92, bukan adanya oplosan. Jadi mungkin ada miss-informasi yang beredar,” tambah Fadjar.
Dalam laporan terbaru Kejagung, disebutkan bahwa dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, terjadi manipulasi dalam proses pengadaan. Salah seorang tersangka, Riva Siahaan, diketahui membayar untuk pengadaan RON 92, padahal yang diterima sebenarnya adalah RON 90 atau lebih rendah. Tindakan ini, menurut Kejagung, melanggar aturan yang berlaku.
Lebih lanjut, Kejagung juga menemukan adanya mark-up dalam kontrak pengiriman (shipping) minyak yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi, Direktur Utama PT Pertamina International Shipping, yang menyebabkan negara mengeluarkan biaya lebih besar, yaitu sekitar 13% hingga 15%. Tindakan ini juga menyebabkan keuntungan yang diperoleh tersangka Muhammad Kerry Andrianto Riza.
Akibat beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, Kejagung menyebutkan bahwa negara mengalami kerugian yang sangat besar, yaitu sekitar Rp193,7 triliun. Kerugian ini terdiri dari beberapa komponen, antara lain:
- Kerugian Ekspor Minyak Mentah Dalam Negeri sekitar Rp35 triliun.
- Kerugian Impor Minyak Mentah melalui DMUT/Broker sekitar Rp2,7 triliun.
- Kerugian Impor BBM melalui DMUT/Broker sekitar Rp9 triliun.
- Kerugian Pemberian Kompensasi (2023) sekitar Rp126 triliun.
- Kerugian Pemberian Subsidi (2023) sekitar Rp21 triliun.
Pertamina berkomitmen untuk terus memastikan kualitas produk yang dijual kepada masyarakat dan mendukung proses hukum yang sedang berlangsung untuk mengungkap kebenaran dalam kasus ini. (Mhd)