JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia mengumumkan kebijakan baru mengenai Devisa Hasil Ekspor (DHE) untuk Sumber Daya Alam (SDA), yang mengharuskan seluruh hasil ekspor SDA, termasuk batubara, untuk diparkirkan selama 12 bulan atau 1 tahun mulai 1 Maret 2025. Kebijakan ini dimaksudkan untuk memperkuat cadangan devisa dan mendukung kestabilan nilai tukar rupiah.
Namun, kebijakan tersebut memicu kekhawatiran di kalangan pelaku usaha, khususnya di sektor batubara. Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) menyatakan bahwa hingga saat ini, mereka belum menerima peraturan lebih detail yang mengatur pelaksanaan kebijakan tersebut, yang seharusnya diturunkan dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP).
Kekhawatiran Pelaku Usaha Batubara
Gita Mahyarani, Plt. Direktur Eksekutif APBI, mengungkapkan bahwa pihaknya membutuhkan kejelasan lebih lanjut mengenai mekanisme pencairan DHE yang bisa dirupiahkan. Hal ini penting karena kebijakan tersebut akan berdampak langsung pada arus kas perusahaan-perusahaan batubara yang berorientasi ekspor.
“Harus ada aturannya dulu yang jelas. Utamanya, jika DHE bisa dirupiahkan, itu akan menjadi solusi agar arus kas dapat berputar. Karena industri batubara juga sangat fluktuatif,” jelas Gita.
Selain perubahan ketentuan DHE, sektor batubara juga masih menghadapi tantangan lain, seperti penurunan harga batubara global, stok batubara yang masih melimpah di negara-negara importir utama seperti China dan India, serta kenaikan harga bahan bakar B40, yang merupakan bagian terbesar dari cost structure perusahaan.
Potensi Gangguan pada Operasional dan Cash Flow Perusahaan
Bisman Bachtiar, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum Energi dan Pertambangan (Pushep), menambahkan bahwa penerapan kebijakan DHE SDA 100% berpotensi mengganggu operasional perusahaan, terutama yang berorientasi ekspor. Menurutnya, hal ini dapat menyebabkan kesulitan cash flow, yang akhirnya berdampak pada penurunan investasi.
“Dampaknya yang mungkin terjadi, operasional akan terganggu karena kesulitan cash flow dan investasi pasti juga akan menurun,” kata Bisman.
Lebih jauh, ia memperingatkan bahwa jika kebijakan ini terus diberlakukan, perusahaan batubara mungkin akan menurunkan produksinya, yang pada gilirannya dapat mengurangi pemasukan negara melalui DHE itu sendiri.
“Potensi penurunan produksi akan mungkin terjadi apalagi ditengah harga yang tidak bagus. Bahkan bila harga terus turun dengan kebijakan DHE ini, beberapa pelaku usaha bisa stop produksi,” ujarnya.
Respons dari PT Bukit Asam
Salah satu perusahaan besar di sektor batubara, PT Bukit Asam Tbk (PTBA), juga mengakui bahwa mereka masih menunggu regulasi detail mengenai penempatan DHE dan insentif yang akan disiapkan pemerintah. Niko Chandra, Corporate Secretary PTBA, menyatakan bahwa perusahaan mendukung kebijakan pemerintah yang bertujuan untuk memperkuat cadangan devisa dan nilai tukar rupiah.
“Kami masih menunggu regulasi mengenai penempatan DHE tersebut dan insentif yang disiapkan oleh Pemerintah untuk mendukung kelangsungan bisnis para pelaku usaha ekspor komoditas,” kata Niko.
Pada tahun 2024, PTBA mencatatkan penjualan batubara sebanyak 42,9 juta ton, dengan 53% dari penjualannya berasal dari pasar domestik, dan 47% sisanya untuk ekspor.
Kebijakan DHE: Implikasi Jangka Panjang
Kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) yang mengharuskan seluruh hasil ekspor SDA diparkirkan selama 12 bulan ini merupakan bagian dari upaya pemerintah untuk memperkuat ekonomi nasional. Meski demikian, implementasi yang jelas dan pengaturan yang mendetail sangat diperlukan untuk mengurangi dampak negatif pada sektor-sektor yang terlibat, terutama industri batubara yang menghadapi tantangan fluktuasi pasar global dan biaya operasional yang tinggi. (Zan)