Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) Mendesak Penegakan Label Berbahasa Indonesia dan SNI untuk Produk Pakaian Jadi

Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) Mendesak Penegakan Label Berbahasa Indonesia dan SNI untuk Produk Pakaian Jadi

JagatBisnis.com – Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI) mendesak pemerintah untuk lebih serius dalam menegakkan kewajiban penggunaan label berbahasa Indonesia serta penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) pada produk pakaian jadi. Direktur Eksekutif YKTI, Ardiman Pribadi, menegaskan bahwa aturan ini sangat penting untuk membantu konsumen memahami spesifikasi dan kualitas produk yang dibeli, serta memastikan mereka dapat melakukan pemeliharaan dengan tepat.

Peraturan Menteri Perdagangan No. 25 Tahun 2021

Ardiman merujuk pada Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No. 25 Tahun 2021, yang mewajibkan seluruh produk pakaian dan kain yang beredar di pasar mencantumkan label berbahasa Indonesia. Menurutnya, kewajiban ini telah diberlakukan sejak 2015, tetapi dalam 10 tahun terakhir, belum ada upaya serius untuk menegakkan aturan tersebut.

Pelanggaran di Pasar dan Platform Daring

Berdasarkan pemantauan YKTI, hanya sekitar 30% produk yang mematuhi aturan tersebut di pasar. Pelanggaran paling banyak ditemukan di platform perdagangan daring, di mana sekitar 90% produk tidak mencantumkan label berbahasa Indonesia. Sebagian besar produk menggunakan bahasa Inggris, sementara lainnya menampilkan karakter dari bahasa Tiongkok, Thailand, Korea, dan Jepang.

Dampak Negatif bagi Konsumen

Akibatnya, menurut Ardiman, konsumen sering kali tidak mengetahui informasi mengenai barang yang mereka beli, yang bisa mempengaruhi pemilihan produk dan pemeliharaan yang tepat.

Lemahnya Penegakan SNI Pakaian Bayi

Selain itu, YKTI juga menyoroti lemahnya penegakan SNI wajib untuk pakaian bayi yang sangat penting bagi kesehatan dan tumbuh kembang anak. Ardiman menyebutkan bahwa banyak produk pakaian bayi yang dijual secara daring tanpa sertifikasi SNI, namun tidak ada tindakan yang diambil oleh pihak berwenang.

Ketimpangan Penegakan Hukum: Impor Ilegal Menjamur

Nandi Herdiaman, Ketua Umum Ikatan Pengusaha Konveksi Berkarya (IPKB), turut mengamini pernyataan YKTI dan menilai bahwa lemahnya pengawasan serta buruknya kinerja bea cukai menjadi penyebab utama maraknya impor ilegal yang membanjiri pasar domestik. Ia mengkritik bahwa regulasi label, SNI, serta K3L lebih menekan produk dalam negeri karena lebih mudah dijangkau oleh aparat. Sementara itu, distributor dan pedagang barang impor tidak pernah tersentuh hukum.

Menurut Nandi, produsen dalam negeri harus membayar pajak, baik untuk PPN bahan baku maupun PPN penjualan, sementara barang impor ilegal dijual tanpa PPN, yang membuat mereka diuntungkan.

Keterpurukan Industri Tekstil dan Produk Tekstil (TPT)

Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), menilai bahwa ketidakseriusan pemerintah dalam menangani impor dan peredaran barang ilegal telah menyebabkan keterpurukan industri tekstil. Banyak pabrik yang tutup, dan ratusan ribu pekerja kehilangan pekerjaan akibat maraknya barang ilegal yang masuk ke pasar.

Usulan Pengawasan Border terhadap Barang Impor

Untuk mengatasi masalah ini, APSyFI mengusulkan agar pemerintah meningkatkan pengawasan border terhadap barang impor terkait dengan aturan Label, SNI, dan K3L. Pasalnya, jika hanya mengandalkan sistem post border, pihak berwenang akan kesulitan mengawasi produk yang sudah beredar di pasar.

Tantangan yang Dihadapi Pemerintah dan Industri

Melihat kompleksitas permasalahan ini, APSyFI dan YKTI mendesak pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menegakkan aturan yang sudah ada, guna melindungi konsumen dan industri dalam negeri, serta memastikan pasar Indonesia tidak menjadi lahan subur bagi barang ilegal yang merugikan ekonomi negara. (Zan)