JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia berencana untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% pada 2025. Rencana ini memicu kekhawatiran dari pelaku industri tambang batubara, yang menilai kebijakan tersebut dapat berdampak signifikan terhadap biaya operasional, daya saing perusahaan, dan potensi penurunan ekspor.
Gita Mahyarani, Plt Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batu Bara Indonesia (APBI), menyatakan bahwa kenaikan PPN akan meningkatkan biaya produksi perusahaan tambang. Hal ini tidak hanya membebani perusahaan, tetapi juga dapat mengurangi minat investor untuk menanamkan modal, terutama terkait dengan pembelian barang modal yang akan dikenakan pajak lebih tinggi.
“Dampak kenaikan PPN ini tidak hanya terhadap perusahaan, tetapi juga terhadap minat investor yang akan semakin berkurang akibat tingginya beban pajak,” kata Gita dalam keterangannya kepada Kontan pada Jumat (13/12).
Dampak pada Aspek Operasional Tambang
Senada dengan Gita, Direktur Eksekutif Indonesian Mining Association (IMA), Hendra Sinadia, menilai kenaikan PPN berdampak pada berbagai aspek operasional perusahaan tambang. Salah satu dampaknya adalah meningkatnya biaya PPN input, yang akan memberi tekanan pada arus kas (cash flow) perusahaan dan meningkatkan potensi keterlambatan dalam proses pengembalian (refund) PPN.
“Selain itu, peningkatan stripping ratio yang terus meningkat karena usia tambang, depresiasi nilai tukar rupiah, serta kenaikan biaya bahan bakar turut memperberat beban perusahaan tambang,” ujar Hendra.
Daya Saing Terancam
Ketua BK Tambang Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Rizal Kasli, mengungkapkan bahwa kebijakan ini akan mempengaruhi hampir seluruh aspek operasional perusahaan, mulai dari produksi, distribusi, hingga pemasaran. Peningkatan biaya untuk bahan bakar, peralatan, dan material diprediksi akan mengurangi margin keuntungan, memperlemah daya saing perusahaan tambang Indonesia, dan memengaruhi harga jual batubara di pasar ekspor.
Rizal juga menyoroti bahwa negara pesaing seperti Vietnam justru menurunkan tarif PPN menjadi 8%, sementara Indonesia menaikkannya. Kondisi ini berpotensi membuat negara-negara importir beralih ke pemasok batubara lain yang menawarkan harga lebih kompetitif.
“Kondisi ini memperlemah daya saing perusahaan tambang Indonesia di pasar global,” jelas Rizal.
Potensi Penurunan Ekspor Batubara
Selain meningkatkan biaya operasional, kenaikan tarif PPN diprediksi akan mengurangi daya saing produk batubara Indonesia di pasar internasional. Jika dampaknya cukup signifikan, negara-negara importir berpotensi beralih ke pemasok batubara lain yang menawarkan harga lebih kompetitif, yang pada akhirnya dapat mengancam pendapatan negara dari ekspor batubara.
Rizal menambahkan bahwa kenaikan PPN ini juga akan memperburuk biaya logistik, tenaga kerja outsourcing, serta biaya infrastruktur dan peralatan. Sebagian besar perusahaan tambang di Indonesia bekerja sama dengan kontraktor, yang tentu akan menaikkan tarif layanan mereka akibat beban pajak baru.
Harapan Evaluasi Kebijakan
Para pelaku industri tambang berharap pemerintah dapat mempertimbangkan kembali rencana kenaikan PPN ini. Mereka menilai kebijakan tersebut berisiko memperlambat pertumbuhan sektor tambang yang selama ini menjadi penyumbang devisa terbesar bagi negara.
“Kami berharap pemerintah mengevaluasi kebijakan ini dan mencari cara agar dampak negatif terhadap industri tambang dapat diminimalisir. Dengan demikian, daya saing global tetap terjaga,” ungkap Rizal.
Jika kebijakan ini tidak dipertimbangkan secara matang, industri tambang batubara Indonesia berisiko kehilangan posisinya di pasar internasional. Potensi kehilangan devisa dan investasi baru di sektor ini menjadi ancaman nyata yang perlu diperhatikan pemerintah dalam mengambil keputusan. (mhd)