JagatBisnis.com – Industri multifinance diproyeksikan akan terus menghadapi tantangan besar pada tahun depan. PT CIMB Niaga Auto Finance (CNAF) menyatakan bahwa ketidakpastian geopolitik, seperti perang yang masih berlangsung, akan menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi daya beli masyarakat dan pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Presiden Direktur CNAF, Ristiawan Suherman, mengungkapkan bahwa kondisi ini berpotensi memperlambat pemulihan daya beli masyarakat, yang diperkirakan belum sepenuhnya pulih pada tahun 2025. “Geopolitik yang tidak stabil akan berdampak pada daya beli masyarakat, yang diperkirakan masih belum sepenuhnya kembali seperti sebelum pandemi,” ujar Ristiawan pada Jumat (6/12).
Tantangan Pembiayaan di 2025
Selain kondisi geopolitik, ada pula tantangan lain yang dihadapi oleh industri multifinance, seperti pungutan-pungutan baru yang akan diterapkan pada tahun 2025. Ristiawan menilai, perubahan kebijakan ini akan menciptakan efek domino yang mempengaruhi keputusan masyarakat dalam mengajukan pembiayaan. Meski begitu, CNAF tetap optimistis dapat mengatasi tantangan tersebut dengan baik.
Ristiawan berharap, pemerintahan yang baru dapat memberikan stimulus positif yang mendukung pemulihan ekonomi nasional. “Kami juga berharap suku bunga dapat turun kembali, agar daya beli masyarakat dapat tumbuh,” tambahnya.
Target Pembiayaan dan Optimisme CNAF
Meski kondisi penuh tantangan, CNAF tetap menargetkan pembiayaan baru sebesar Rp 9,5 triliun pada tahun 2025. Target ini menunjukkan keyakinan CNAF terhadap potensi pertumbuhan pasar pembiayaan kendaraan, meskipun kondisi ekonomi yang penuh ketidakpastian.
Pada 2023, CNAF mencatatkan sejumlah tantangan yang serupa, seperti daya beli masyarakat yang masih lemah dan situasi geopolitik global yang belum stabil. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) juga merevisi target penjualan kendaraan pada 2023 menjadi 850.000 unit, menyesuaikan dengan kondisi pasar yang melambat. Hal ini tentu berdampak pada industri pembiayaan kendaraan, yang menjadi salah satu sektor utama bagi multifinance.
Pesimisme Industri Pembiayaan
Di sisi lain, Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI) menunjukkan rasa pesimistis terkait prospek pertumbuhan industri multifinance tahun ini. Ketua Umum APPI, Suwandi Wiratno, mengungkapkan bahwa target pertumbuhan 12% sulit tercapai mengingat berbagai tantangan yang ada. “Tahun ini, industri mau tumbuh 12% saja sudah berat sekali. Mudah-mudahan bisa tumbuh 10%,” ujar Suwandi dalam pertemuan anggota APPI di Jakarta Selatan pada Kamis (5/12).
Suwandi menyebutkan beberapa faktor yang mempengaruhi pesimisme tersebut, antara lain pemilihan Presiden dan Kepala Daerah yang mempengaruhi iklim bisnis, penurunan daya beli masyarakat, dan melemahnya penjualan otomotif. Semua faktor ini berkontribusi pada penurunan volume pembiayaan yang disalurkan oleh industri multifinance.
Harapan untuk Pemulihan Ekonomi
Meski penuh tantangan, optimisme tetap ada. Suwandi berharap agar pemerintah dapat mengambil langkah-langkah strategis untuk memulihkan daya beli masyarakat, yang akan menjadi kunci dalam menggerakkan industri multifinance ke depan. Tanpa pemulihan daya beli, pertumbuhan industri ini akan sulit tercapai.
Industri multifinance 2025 diprediksi akan menjadi tahun yang penuh dengan dinamika. Dengan tantangan dari faktor eksternal dan internal, para pelaku industri berharap dapat menghadapi masa depan dengan kebijakan yang tepat dari pemerintah, serta dukungan dari berbagai pihak untuk menciptakan iklim ekonomi yang kondusif bagi pertumbuhan sektor ini. (Mhd)