JagatBisnis.com – Industri tekstil nasional memberikan apresiasi terhadap langkah Kementerian Keuangan yang fokus pada pemberantasan impor ilegal, sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden Prabowo Subianto untuk mengoptimalkan pendapatan dari kegiatan ekonomi bayangan. Menurut Redma Gita Wirawasta, Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI), impor ilegal merupakan salah satu penyebab utama menurunnya kinerja sektor Tekstil dan Produk Tekstil (TPT) di Indonesia.
Sektor TPT Indonesia, yang dalam satu dekade terakhir mengalami tren deindustrialisasi, turut dipengaruhi oleh beberapa faktor, termasuk pailitnya perusahaan besar seperti Sritex, penutupan pabrik Sepatu Bata, dan penutupan lebih dari 30 perusahaan tekstil yang mem-PHK ratusan ribu karyawan dalam dua tahun terakhir. Redma optimistis bahwa, meskipun ada pandangan berbeda antar-menteri, Presiden Prabowo akan tetap konsisten memberantas praktik impor ilegal untuk menyelamatkan industri TPT dan menciptakan birokrasi yang lebih bersih.
Agus Riyanto, Direktur Eksekutif KAHMI Rayon Tekstil, menegaskan pentingnya konsistensi dalam pemberantasan impor ilegal. Ia mengingatkan bahwa meskipun ada banyak upaya untuk menangani masalah ini, selama selisih perdagangan internasional tetap besar dan barang murah tanpa PPN (Pajak Pertambahan Nilai) terus membanjiri pasar, impor ilegal akan terus terjadi. Agus juga mengkritik pandangan Menteri Keuangan yang menganggap oversupply dan hambatan dagang di negara tujuan ekspor sebagai penyebab utama impor ilegal, dan menekankan bahwa tugas Menkeu adalah meningkatkan integritas Bea Cukai serta memperbaiki sistem kepabeanan.
Di sisi lain, Yayasan Konsumen Tekstil Indonesia (YKTI), melalui Ardiman Pribadi, Direktur Eksekutif YKTI, memprotes rencana kenaikan PPN menjadi 12%. Menurutnya, beban PPN saat ini sudah cukup tinggi, mencapai 19,8% untuk konsumen akhir, dan jika kenaikan PPN dilanjutkan, angka ini akan meningkat menjadi 21,6%. Di tengah melemahnya daya beli masyarakat, Ardiman khawatir kenaikan PPN justru akan menurunkan konsumsi tekstil dan berdampak buruk bagi penerimaan negara.
Ardiman menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada pemberantasan impor ilegal yang telah menyebabkan potensi kehilangan penerimaan negara hingga Rp46 triliun dalam lima tahun terakhir. Jika pemerintah berhasil memberantas impor ilegal, ia memperkirakan penerimaan negara bisa meningkat hingga Rp9 triliun per tahun tanpa perlu menaikkan PPN.
Lebih lanjut, Ardiman optimistis bahwa pemberantasan impor ilegal akan memberi dampak positif bagi industri TPT domestik. Pabrik-pabrik tekstil yang mampu meningkatkan kapasitas produksinya akan menciptakan lapangan kerja baru, meningkatkan pendapatan masyarakat, dan mendorong konsumsi. Hal ini, pada gilirannya, akan meningkatkan penerimaan negara dari PPN secara alami, seiring dengan peningkatan aktivitas ekonomi masyarakat. (Zan)