Polemik Ekspor Listrik EBT ke Singapura: Pro dan Kontra Mengenai Keputusan Pemerintah

Polemik Ekspor Listrik EBT ke Singapura: Pro dan Kontra Mengenai Keputusan Pemerintah. foto dok sunenergy.id

JagatBisnis.com – Pemerintah Indonesia, melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), masih mengkaji keputusan terkait rencana ekspor listrik berbasis Energi Baru Terbarukan (EBT) ke Singapura. Rencana tersebut sebelumnya tercatat dalam MoU antara Indonesia dan Singapura yang mengatur ekspor listrik hijau dengan kapasitas hingga 3 gigawatt (GW), yang direncanakan akan dimulai pada 2027 hingga 2035.

Pandangan Menteri ESDM Bahlil Lahadalia

Menteri ESDM, Bahlil Lahadalia, dalam sebuah acara Green Initiative Conference pada 25 September 2024, menyatakan kekhawatirannya mengenai ekspor listrik EBT ke Singapura. Menurut Bahlil, meskipun Indonesia memiliki keunggulan komparatif dalam sektor EBT, mengirimkan sumber daya energi terbarukan tersebut ke negara lain akan merugikan Indonesia. Bahlil menegaskan bahwa Indonesia perlu memastikan ketersediaan dan pemanfaatan energi terbarukannya untuk kebutuhan dalam negeri sebelum mengekspornya.

Saya tidak bisa membayangkan ketika nilai keunggulan komparatif EBT kita, energi baru terbarukan kita kasih ke orang di saat negara kita belum cukup,” ujar Bahlil.

Pendapat ini juga didukung oleh Hashim Djojohadikusumo, Utusan Khusus Presiden untuk Perubahan Iklim dan Energi, yang menyatakan bahwa data center yang membutuhkan pasokan listrik hijau sebaiknya dibangun di Indonesia, terutama di kawasan seperti Pulau Batam, Bintan, atau Karimun, yang memiliki potensi sumber daya energi terbarukan.

Baca Juga :   Evaluasi Program Kuota Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) Atap: Menuju Energi Baru Terbarukan

MoU Sebelumnya dan Dampaknya

Pada masa kepemimpinan Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi, Luhut Binsar Pandjaitan, Indonesia menandatangani MoU dengan Singapura pada Maret 2024 yang menyepakati ekspor listrik hijau dari Indonesia ke Singapura dengan nilai proyek mencapai US$ 30 miliar (Rp 308 triliun). Proyek ini direncanakan memanfaatkan sumber daya EBT di Kepulauan Riau, yang diharapkan bisa dimulai pada 2027. Listrik yang akan diekspor berasal dari pembangkit listrik yang memanfaatkan energi terbarukan seperti Pembangkit Listrik Tenaga Matahari (PLTS).

Namun, dengan adanya ketidakpastian dan penundaan pengkajian kebijakan oleh pemerintah, muncul kekhawatiran mengenai masa depan proyek ini.

Pendapat Para Pakar Ekonomi dan Energi

Fahmy Radhi, Pakar Ekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM), memberikan pandangannya bahwa ekspor listrik EBT ke Singapura justru dapat memberikan manfaat ekonomi bagi Indonesia. Fahmy menilai listrik bersih yang diminta oleh Singapura, yang berasal dari PLTS di Indonesia, bisa membuka peluang investasi asing dan transfer teknologi yang menguntungkan Indonesia.

Ini sebenarnya mutual benefit, energi mataharinya dari kita, dan kita dapat tambahan investasi beserta peluang transfer teknologi dari Singapura,” jelas Fahmy.

Baca Juga :   Gaduh Soal Rice Cooker Gratis Buat Orang Miskin

Fahmy juga mengkritik alasan pemerintah yang menganggap ekspor listrik bisa merugikan Indonesia, dengan mengatakan bahwa klaim tersebut tidak masuk akal mengingat Indonesia masih memiliki surplus listrik yang cukup besar, bahkan hingga 7 GW. Sementara itu, Singapura yang membutuhkan listrik bersih untuk mendukung transisi energi hijau mereka, memiliki kapasitas yang lebih maju dalam pengembangan teknologi energi terbarukan dibandingkan Indonesia.

Kekhawatiran Potensi Gugatan Hukum

Selain Fahmy, Yusri Usman, Direktur Eksekutif Center of Energy and Resources Indonesia (CERI), juga mengungkapkan kekhawatirannya mengenai potensi gugatan hukum yang dapat timbul jika kesepakatan MoU ini dibatalkan. Yusri menilai bahwa jika pembatalan kontrak terjadi setelah pembangunan infrastruktur berjalan, hal ini dapat merusak kredibilitas Indonesia dalam menjalin kerjasama internasional di sektor energi dan berdampak buruk bagi investor yang telah berkomitmen.

Pembatalan kontrak berpotensi akan terjadi gugatan hukum. Itu artinya perencanaannya sudah salah sejak awal, sehingga muncul wacana merubah kebijakan setelah proses pembangunan infrastruktur sudah berjalan,” kata Yusri.

Sumber Daya Alam Indonesia dan Teknologi EBT

Yusri juga menyoroti fakta bahwa meskipun Indonesia kaya akan Sumber Daya Alam (SDA) EBT, kemampuan negara dalam mengembangkan teknologi energi terbarukan masih tertinggal jauh dibandingkan Singapura. Negara tetangga tersebut, meskipun bergantung pada gas alam dari Indonesia untuk pembangkit listriknya, telah lebih cepat dalam melakukan transisi energi hijau dan pengembangan teknologi terkait.

Baca Juga :   Program Cofiring PLTU Jeranjang: Meningkatkan Ekonomi dan Lingkungan di Lombok

Singapura terbukti lebih cepat melakukan transisi energi lebih hijau, meskipun selama ini mereka menggunakan sumber gas dari Indonesia untuk energi pembangkit listriknya,” jelas Yusri.

Kesimpulan: Dua Pandangan Berbeda

Polemik mengenai ekspor listrik EBT ini menyoroti ketegangan antara kepentingan dalam negeri yang menuntut prioritas penggunaan energi terbarukan untuk pemenuhan kebutuhan listrik nasional, dengan kesempatan ekspor yang dapat membawa manfaat investasi dan teknologi. Sementara pemerintah melalui Bahlil Lahadalia dan Hashim Djojohadikusumo lebih berhati-hati dalam memberikan sumber daya energi Indonesia ke negara lain, pihak ekonom dan praktisi energi seperti Fahmy Radhi dan Yusri Usman justru menilai ekspor listrik EBT sebagai langkah positif yang menguntungkan Indonesia dari segi ekonomi dan teknologi.

Keputusan akhir mengenai rencana ini akan sangat mempengaruhi potensi investasi dan kerjasama internasional di sektor energi Indonesia, serta strategi transisi energi yang sedang digalakkan oleh pemerintah. (Zan)