Totok mengidentifikasi beberapa risiko selama kampanye, termasuk praktik politik uang, pelibatan aparatur pemerintah, dan penggunaan fasilitas negara untuk kepentingan kampanye. “Salah satu contohnya adalah pembagian sembako atau uang. Keterlibatan aparat sangat rawan, padahal aturannya jelas melarang pejabat negara untuk terlibat,” jelasnya.
Ia juga mengingatkan agar potensi kerawanan saat proses pungut hitung tidak terulang pada 27 November 2024. Kesalahan prosedur oleh penyelenggara pemilu yang dapat menyebabkan pemungutan suara ulang atau susulan menjadi perhatian utama. “Kami ingin memastikan kesalahan yang terjadi di pemilu sebelumnya tidak terulang,” tegas Totok.
Analisis potensi kerawanan ini berasal dari kajian Indeks Kerawanan Pemilu dan Pemilihan (IKP) Serentak 2024 yang diluncurkan pada 2022. Salah satu parameter kerawanan diambil dari peristiwa-peristiwa yang terjadi pada pemilu sebelumnya.
Selain itu, tahapan pencalonan juga memiliki potensi kerawanan yang signifikan. Totok mengingatkan bahwa tindakan penyalahgunaan kewenangan oleh calon, termasuk dari unsur petahana, ASN, TNI, dan Polri, dapat mempengaruhi integritas pemilu. Masa pencalonan, termasuk pendaftaran, verifikasi administrasi, dan verifikasi faktual, menjadi periode yang sangat rentan.
Ia menekankan bahwa Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 melarang kepala daerah atau penjabat kepala daerah melakukan mutasi atau penggantian pejabat jelang pilkada. Pelanggaran terhadap larangan ini dapat berujung pada sanksi pidana. “Larangan mutasi ini berlaku enam bulan sebelum penetapan pasangan calon oleh KPU RI,” tutup Totok.
Untuk memetakan potensi kerawanan tersebut, Bawaslu menggunakan empat dimensi: konteks sosial politik, penyelenggaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi. Dengan pengawasan yang lebih ketat dan kesadaran akan potensi masalah, diharapkan Pilkada 2024 dapat berlangsung dengan lebih transparan dan adil. (Mhd)