JagatBisnis.com – Produksi alat berat di Indonesia pada tahun ini diproyeksikan mengalami penurunan, terutama akibat tren negatif di sektor konstruksi. Meskipun ada harapan untuk peningkatan seiring dengan proyek infrastruktur yang dicanangkan oleh pemerintah Joko Widodo, kenyataannya sektor ini belum mampu menyerap produksi alat berat secara optimal.
Dampak Pemilu dan Sentimen Pasar
Kegiatan Pemilu 2024 yang berlangsung awal tahun juga memberikan dampak negatif. Banyak pelaku usaha memilih untuk bersikap “wait and see” menunggu hasil dan kebijakan pemerintah berikutnya, yang membuat permintaan alat berat semakin lesu.
Fokus pada Sektor Pertambangan dan Agro
Meski demikian, produsen alat berat masih berharap banyak pada sektor pertambangan dan agro untuk mengejar target produksi yang telah ditetapkan. Kedua sektor ini, khususnya di semester kedua, sering kali mencatatkan kinerja yang lebih baik.
Himpunan Industri Alat Berat Indonesia (Hinabi) melaporkan bahwa produksi alat berat mengalami penurunan sebesar 16% secara tahunan pada semester I-2024, dengan total realisasi produksi mencapai 3.337 unit. Ini menurun dari 4.014 unit pada periode yang sama tahun lalu. Penurunan ini sebagian besar disebabkan oleh lemahnya permintaan di sektor pertambangan akibat penurunan harga komoditas mineral seperti batubara dan nikel.
Rincian Produksi dan Penyerapan
Pada semester I-2024, produksi alat berat didominasi oleh hydraulic excavator sebanyak 2.873 unit, diikuti oleh dump truck (252 unit), bulldozer (202 unit), dan motor grader (10 unit). Sekitar 60% dari alat berat yang diproduksi diserap oleh industri tambang, terutama untuk angkutan produksi nikel. Sektor agro dan kehutanan masing-masing menyerap 15% dari total produksi, sedangkan konstruksi hanya menyumbang 10%.
Ketua Umum Hinabi, Giri Kus Anggoro, mengungkapkan bahwa target produksi sebesar 8.000 unit mungkin akan sedikit terkoreksi akibat pengaruh pasar global yang sedang menurun. “Banyak investor di sektor konstruksi yang menunda investasinya hingga pemerintah baru menetapkan arah pembangunan,” katanya.
Kendala dalam Produksi
Giri juga menyoroti kendala yang dihadapi produsen alat berat, terutama terkait impor bahan baku dan komponen. Kuota impor yang disetujui sering kali tidak sesuai dengan kebutuhan produksi, dan proses pengurusan izin impor membutuhkan waktu yang cukup lama. “Kami berharap agar persetujuan kuota impor dapat disesuaikan dengan kebutuhan produksi,” ungkapnya.
Direktur Sales PT Gaya Makmur Putra, Edward Cahyadi, menambahkan bahwa sektor yang paling banyak menyerap produksi alat berat saat ini adalah pertambangan, kehutanan, dan pertanian. “Target produksi alat berat kami sering kali disesuaikan dengan kondisi pasar yang dinamis, termasuk fluktuasi harga komoditas dan kebijakan pemerintah,” jelasnya.
Dengan tantangan yang dihadapi, industri alat berat Indonesia harus beradaptasi dan mencari peluang baru untuk tetap bertahan dan tumbuh di tengah ketidakpastian pasar. (Hky)