JagatBisnis.com – Banyak negara di dunia makin memperketat regulasi untuk mengendalikan paparan senyawa Bisfenol A (BPA). Indonesia pun tahun ini mulai mewajibkan peringatan label bahaya BPA pada galon guna ulang polikarbonat. Namun, Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) masih memberi kesempatan produsen air minum dalam kemasan (AMDK) berbahan BPA untuk mematuhi regulasi tersebut. Karena mendapat perlawanan dari asosiasi AMDK hingga opini tanpa riset ilmiah beberapa pakar yang makin mengaburkan bahaya BPA. Padahal, sebutan label “BPA Free” pada botol plastik bening secara internasional jauh lebih aman dan lazim digunakan di seluruh dunia.
“Pelabelan BPA Free pada botol jenis Polietilena tereftalat (PET), bisa menyesatkan. Bahaya sebenarnya bukan hanya BPA, tetapi juga bahan kimia lain seperti etilen glikol. Label harus lebih spesifik,” kata Pakar polimer dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Akhmad Zainal Abidin, di Jakarta, Senin (26/8/2024).
Akhmad mengakui, adanya potensi bahaya jika kandungan zat berbahaya seperti BPA melebihi ambang batas. Apalagi, tubuh manusia memiliki mekanisme untuk mengeluarkan kembali partikel BPA yang masuk ke dalam tubuh. Oleh karena itu, paparan BPA normal pada tubuh yang sehat umumnya tidak memberikan dampak bagi kesehatan.
“BPA banyak dipakai karena dapat menghasilkan polimer plastik dengan ketahanan tinggi yang banyak dibutuhkan dalam keseharian. Kesalahan dalam pemakaian, seperti memanaskan plastik berbahan BPA pada suhu tinggi, tepatnya di atas suhu 70 derajat Celcius, dapat menyebabkan BPA terlepas ke air di dalam kemasan,” ungkapnya.
Sebelumnya, Direktur Standardisasi Pangan Olahan BPOM Anisyah menerangkan, kadar BPA yang bermigrasi pada air minum dengan jumlah melebihi ambang batas aman 0,6 ppm mengalami peningkatan berturut-turut sebesar 3,13 persen, 3,45 persen dan 4,58 persen. Sementara itu, dalam lima tahun terakhir, Otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) bertindak lebih jauh ketimbang Indonesia, dalam memperketat penggunaan BPA untuk kemasan makanan dan minuman.
“Bukan cuma memperkecil batas migrasi BPA, Eropa juga secara drastis menurunkan angka asupan harian pada asupan tercemar BPA yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari. Maka, asupan harian BPA yang yang bisa dikonsumsi manusia setiap hari menjadi lebih ketat,” ujarnya.
Dia memaparkan, semula pada 2015, EFSA menetapkan asupan harian BPA sebesar 4 mikrogram per kilogram berat badan per hari. Namun, pada April 2023, ditetapkan dengan nilai 0,2 nanogram per kilogram berat badan per hari. Ini artinya, nilai asupan harian yang baru ini 20.000 kali lebih rendah.
“Artinya, risiko kontaminasi BPA dari kemasan pangan atau minuman ke produk yang diwadahinya, sudah dianggap sangat berbahaya dan harus dihindari. Karena BPA dapat bermigrasi ke makanan dan minuman, yang meskipun dalam jumlah kecil tapi dapat membahayakan kesehatan konsumen. Ini salah satu alasan kami melakukan penilaian ulang terhadap regulasi yang ada,” tutup Anisyah. (eva)