Industri Makanan dan Minuman Hadapi Tantangan Baru dengan Potensi Pengenaan Cukai pada Pangan Olahan

Industri Makanan dan Minuman Hadapi Tantangan Baru dengan Potensi Pengenaan Cukai pada Pangan Olahan. foto dok djkn.kemenkeu.go.id

JagatBisnis.com – Industri makanan dan minuman (Mamin) Indonesia kini menghadapi tantangan baru terkait potensi cukai pada pangan olahan. Tantangan ini muncul setelah disahkannya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang merupakan peraturan pelaksanaan dari Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan.

PP tersebut memberi wewenang kepada pemerintah untuk menetapkan cukai pada pangan olahan tertentu guna mendukung kebijakan kesehatan masyarakat. Khususnya, Pasal 194 ayat (1) dari PP ini menyebutkan bahwa selain batas maksimum kandungan gula, garam, dan lemak, pemerintah juga dapat mengenakan cukai pada pangan olahan tertentu sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.

Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Seluruh Indonesia (Gapmmi), Adhi Lukman, mengungkapkan kekhawatirannya terkait pasal ini. Ia mencatat bahwa selain pasal 194, terdapat juga Bagian Kedelapan dalam PP tersebut yang berhubungan dengan Penanggulangan Penyakit Tidak Menular (PTM).

“Kami khawatir jika gula, garam, dan lemak dianggap sebagai penyebab penyakit tidak menular dan dikenakan cukai, maka penggunaan bahan-bahan tersebut dalam industri mamin akan menjadi sangat terbatas,” kata Adhi. Ia menambahkan, jika GGL dianggap penyebab PTM dan dikenakan cukai, maka bahan-bahan tersebut mungkin akan dilarang digunakan dalam industri makanan dan minuman.

Adhi juga menyoroti bahwa pengeluaran per kapita untuk produk pangan olahan berkontribusi sekitar 30% dari total konsumsi makanan dan minuman, sementara 70% berasal dari pangan rumah tangga. “Jika 30% ini dikendalikan padahal hanya sebagian yang menggunakan gula, garam, atau lemak, dan jika cukai dikenakan hanya pada produk yang mengandung gula, maka dampaknya akan sangat kecil,” tambahnya.

Dari sisi industri, emiten yang terlibat dalam sektor ini, seperti PT Ultrajaya Milk Industries Tbk (ULTJ), PT Cisarua Mountain Dairy Tbk (CMRY), PT Kino Indonesia Tbk (KINO), dan PT Garudafood Putra Putri Jaya Tbk (GOOD), diperkirakan akan merasakan dampak signifikan.

Sekretaris Perusahaan Kino Indonesia, Clara Alexandra Linanda, menyatakan bahwa pihaknya akan mematuhi peraturan yang telah ditetapkan pemerintah namun akan memantau implementasi kebijakan ini dengan seksama sebelum melakukan penyesuaian terhadap produk-produk mereka. “Kami akan melibatkan pengembangan pasar baru, memperluas jaringan distribusi, peningkatan efisiensi operasional, dan fokus pada inovasi produk,” ujarnya.

Di sisi lain, Head of Corporate Communication & External Relations Garuda Food, Dian Astriana, mengatakan bahwa untuk cukai makanan olahan, perusahaan akan mengikuti garis besar yang ditetapkan asosiasi makanan dan minuman. “Kami akan mematuhi peraturan yang berlaku,” ungkapnya.

Menurut data terbaru dari Kementerian Keuangan (Kemenkeu), kebijakan cukai untuk Minuman Berpemanis Dalam Kemasan (MBDK) telah terdaftar dalam Buku II Nota Keuangan RAPBN 2025. Sementara itu, penerapan cukai pada pangan olahan tertentu akan memerlukan waktu setidaknya dua tahun setelah ketentuan batas maksimal kandungan GGL ditetapkan.

Sekretaris Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin, Yulia Astuti, mengonfirmasi bahwa peraturan terkait pengendalian konsumsi GGL memang diatur dalam PP Kesehatan terbaru, namun tidak langsung berlaku. “Memang ada ketentuan di pasal 194 dan 195 tentang gula-garam-lemak, tapi penerapannya tidak segera dilaksanakan,” tutup Yulia.

Dengan perubahan regulasi ini, industri makanan dan minuman di Indonesia harus siap menghadapi penyesuaian untuk memastikan kepatuhan terhadap kebijakan baru, sambil tetap berkomitmen pada inovasi dan efisiensi operasional guna menjaga kinerja di pasar yang semakin ketat. (Zan)