Terkuak, Kelemahan Penyidikan Gakkum KLHK pada Kasus Karimun Jawa

jagatbisnis.com –  Persidangan gugatan praperadilan terkait penetapan tersangka tiga petambak Karimun Jawa di Pengadilan Negeri Jepara menguak tabir lemahnya prosedur penyidikan aparat penegak hukum (gakkum) dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) yang menangani perkara pencemaran lingkungan di Karimun Jawa.

Wakil Ketua Masyarakat Akuakultur Indonesia (MAI) Muhibbuddin Koto, yang hadir sebagai saksi fakta dalam persidangan yang digelar pada Kamis (6/06/2024), di hadapan hakim tunggal Meirina Dewi Setyawati, memaparkan bahwa penyidik Penegakan Hukum (Gakkum) KLHK telah melakukan kesalahan fatal saat melakukan pengambilan sampel air limbah tambak yang dijadikan dasar penersangkaan terhadap keempat petambak.

“Berdasarkan dokumen pengumpulan bahan keterangan (pulbaket) Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) pada 16 Februari 2023, sampel air limbah diambil pada Oktober 2022 di dua titik lokasi tambak yang bukan milik keempat tersangka. Analisa dampak air limbah pun baru dilakukan pada Januari 2024,” ungkap Muhhibbuddin Koto.

Walau begitu, dipaparkan Koto, berdasarkan sampel air limbah yang diambil dari Instalasi Pengolahan Air Limbah (IPAL) milik petambak lain itu, penyidik Gakkum KLHK tetap menerbitkan surat penetapan status tersangka terhadap keempat petambak tersebut. Bahkan, pada 13 Maret 2024, penyidik Gakkum KLHK memutuskan menahan tiga di antara keempat tersangka petambak itu, yakni Sutrisno (50), Teguh Santoso (44), dan Mirah Sanusi Darwiyah (48).

“Barulah pada 1 dan 2 April 2024, penyidik Gakkum KLHK mendatangi kembali lokasi tambak milik para tersangka guna melakukan pengambilan sampel air limbah. Ini memiliki makna, para petambak dijadikan tersangka dan ditahan terlebih dahulu baru kemudian dikumpulkan bukti-buktinya,” tandas Muhhibunddin Koto, dalam persidangan praperadilan yang tidak dihadiri penyidik Gakkum KLHK.

Lebih lanjut, Muhhibuddin Koto yang mendampingi para tersangka sejak Desember 2023 memaparkan perihal sangkaan yang dialamatkan kepada petambak terkait pemasangan pipa inlet di perairan Karimun Jawa yang masuk dalam Zona Pemanfaatan Balai Taman Nasional (BTN) Karimun Jawa. Penyidik Gakkum KLHK telah menjeratkan Pasal 33 (3) UU nomor 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistemnya, di mana pemasangan pipa inlet oleh petambak dianggap sebagai sebuah pelanggaran hukum lantaran mengubah fungsi zona pemanfaatan di kawasan konservasi alam.

Penerapan Pasal 33 (3) UU 5/1990 kepada para petambak itu, dinilai Koto, tidak tepat. Pasalnya, Pasal 31 (1) UU tersebut memberi penegasan serta amanah agar zona pemanfaatan bisa berfungsi sebagai zona pendukung bagi setiap kegiatan budidaya perikanan. Pemasangan pipa inlet tersebut, lanjut Koto, harus dilakukan petambak guna mendapatkan air laut yang dibutuhkan dalam rangka melaksanakan budidaya tambak udang di Karimun Jawa. “Mengacu pada Pasal 31 UU Konservasi Sumber Daya Alam, kegiatan pemasangan pipa inlet seharusnya tidak termasuk pelangaran karena dilakukan di zona pemanfaatan,” tandasnya.

Tudingan Gakkum KLHK bahwa pemasangan pipa inlet dilakukan tanpa izin BTN, selaku pemegang otoritas kawasan konservasi, juga disanggah oleh Koto saat bersaksi di sidang gugatan praperadilan tiga petambak Karimun Jawa tersebut. Pembukaan lahan tambak pembesaran udang di Karimun Jawa, jelas Koto, selalu diawali dengan pengajuan surat permohonan groundcheck oleh petambak ke kantor BTN Karimun Jawa. Hal itu untuk memastikan jika lokasi tambak yang akan dibuka tidak berada dalam zona konservasi.

“Setelah terbit surat groundcheck, para petambak kembali berkoordinasi dengan petugas BTN untuk memasang pipa inlet. Dalam hal ini, pihak petugas BTN bahkan selalu turun ke lapangan untuk mengarahkan agar pemasangan pipa inlet selalu berada di jalur babakan yang secara tradisional menjadi jalur keluar masuknya perahu nelayan Karimun Jawa. Dukungan dan keterlibatan petugas BTN ini didokumentasikan petambak baik lewat video maupun foto,” ujar Koto.

Sementara itu, Dr Ir Andi Tamsil M Si, selaku saksi ahli di bidang perikanan budidaya yang dihadirkan di persidangan di hadapan hakim memaparkan, tidak mungkin petambak udang memiliki motif untuk mencemari laut yang secara prinsip telah menghidupi mereka. Air laut merupakan kebutuhan mutlak bagi para pembudidaya udang sehingga para petambak pasti berupaya membangun IPAL yang layak. “Limbah tambak udang bersifat organik sangat tidak berbahaya bagi lingkungan hidup. Terlebih sebelum dibuang ke laut, limbah tersebut mengalami pengendapan di IPAL,” ujar

Dijelaskan Tamsil, di Karimun Jawa tanaman mangrove di sekitar lokasi tambak tumbuh sangat subur dengan ketebalan yang sangat bagus. Hal itu mengindikasikan bahwa limbah yang berasal dari IPAL tambak udang tidak bersifat merusak dan memiliki kontribusi positif bagi tumbuhan di sekitarnya. “Pencemaran yang terjadi di Karimun Jawa tidak bisa serta-merta dituduhkan sebagai akibat dari kegiatan tambak udang mengingat laut adalah ekosistem terbuka. Ada banyak kegiatan lain seperti perhotelan, londri, bengkel kendaraan, dan pemukiman yang turut berkontribusi terhadap kondisi perairan di sana,” tandasnya.

Gugatan praperadilan terhadap penetapan tersangka oleh Gakkum KLHK dilakukan oleh tiga petambak Karimun Jawa, yakni masing-masing, Sutrisno (50), Teguh Santoso (44), dan Mirah Sanusi Darwiyah (48). Gugatan praperadilan didaftarkan para petambak pada 21 Mei 2024 dan sidang digelar pertama kalinya pada 3 Juni 2024. Seiring jadwal itu, penyidik Gakkum KLHK merespons dengan melayangkan surat kepada PN Jepara berisi permohonan penundaan sidang praperadilan hingga 24 Juni 2024.

Hakim PN Jepara telah menyatakan menolak permohonan dari penyidik Gakkum KLHK dan tetap menggelar persidangan perdana praperadilan sesuai jadwal, yakni pada 3 Juni 2024 meski tanpa dihadiri Gakkum KLHK. Pada 6 Juni, sidang lanjutan praperadilan kembali digelar PN Jepara, dan juga tanpa dihadiri penyidik Gakkum KLHK. (Hfz)