”Optimasi Lahan Rawa Mineral, Satu Upaya Peningkatan Produksi Padi”

Oleh: Agus Salim
ASN di Kementerian Pertanian

Indonesia adalah negara dengan jumlah penduduk ke-4 terbesar setelah Amerika Serikat, laporan BPS menunjukan jumlah penduduk Indonesia saat ini adalah 278 juta jiwa, dengan laju pertumbuhan populasi dari tahun ke tahun sebesar 1-2 %. Populasi ini menghadapkan Indonesia pada kebutuhan pangan yang semakin meningkat.

Pada saat yang sama fenomena meningkatnya persaingan penggunaan lahan untuk produksi pangan dengan penggunaan lahan diluar pangan kerap terjadi. Sehingga dengan jumlah penduduk yang besar sangat berkaitan dengan penyediaan pangan yang cukup, artinya kebutuhan pangan masyarakat harus berbanding lurus dengan ketersediaan dan keberlanjutan produksi pangan.

Fenomena kondisi perubahan iklim global saat ini juga berdampak pada krisis pada sektor pertanian di Indonesia. FAO menyatakan Indonesia sebagai negara dengan perekonomian terbesar di Asia Tenggara yang akan paling merasakan dampak negative dari perubahan iklim, terutama terjadinya kekeringan dan banjir, karena fenomena ini akan menurunkan produksi pangan dan kapasitas produksi pertanian.

Di Pulau Jawa, dampak perubahan iklim diprediksi akan terjadi penurunan produksi sebesar 5% pada tahun 2025 dan penurunan 10% pada tahun 2050 mendatang (FAO). Oleh karena itu, pemerintah terus melakukan konsolidasi segal hal yang berkaitan dan menjadi faktor determinan dalam ranah produksi. Satu diantaranya adalah lahan.

Lahan merupakan syarat mutlak dalam mewujudkan kemandirian, ketahanan dan kedaulatan pangan nasional, dan merupakan faktor produksi yang utama dan tidak tergantikan dalam pembangunan pertanian, karena sampai saat ini produksi pertanian masih berbasis lahan, persaingan penggunaan lahan ini mengakibatkan tingginya terjadi alih fungsi lahan pertanian yang semula digunakan untuk produksi pangan dialihkan penggunaanya diluar produksi pangan seperti pemukiman, industri atau bisnis lainnya.

Data BPS tahun 2021 menunjukan alih fungsi lahan sawah berkisar 60.000 ha – 80.000 ha per tahun. Dengan IP lahan 2,5 – 3 dengan produktivitas rata-rata 6 ton GKG/ha. Dalam lima tahun lahan sawah yang beralih fungsi antara 300.000 ha – 400.000 ha, sehingga perkiraan kehilangan hasil padi per tahun sebesar 1,08 juta – 1,4 juta ton GKG.

Baca Juga :   Wartawan Kembali Dilarang Meliput di Kementan

Kondisi ini diikuti dengan degradasi lahan sebagai dampak dari ketergantungan penggunaan pupuk kimia dan pestisida yang dapat menurunkan kesuburan tanah, Penggunaan pupuk pestisida terus-menerus dapat menyebabkan tanah menjadi lebih asam.

Luas lahan baku sawah (LBS) Indonesia saat ini sebesar 7,46 juta hektar, angka ini merupakan penyusutan dari luas lahan baku sawah satu dekade yang lalu yaitu 8,07 juta hektar. Pulau Jawa mendominasi kepemilikan luas lahan baku sawah terluas. Jawa Timur menjadi provinsi dengan LBS terluas di Indonesia. Provinsi tersebut memiliki LBS sebesar 1,2 juta hektare. Jawa Tengah dan Jawa Barat berturut-turut mempunyai LBS sebesar 1.049.661 hektar dan 928.218 hektar. Data ini masih berbasis kepada Keputusan Menteri ATR/BPN Nomor 686/SK-PG.03.03/XII/2019 tentang Penetapan Luas Lahan Baku Sawah Nasional Tahun 2019.

Pemerintah melalui Kementerian Pertanian RI, sesuai Permentan Nomor 40.1/PERMENTAN/RC.010/10/2018, dalam upaya peningkatan produksi, produktivitas, serta kesejahteraan petani, mencanangkan program pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut/Iebak dengan sebutan program “Selamatkan Rawa Sejahterakan Petani atau disingkat SERASI” dengan tetap menerapkan prinsip-prinsip pertanian berkelanjutan.

Data yang dirilis Badan Standardisasi Instrumen Pertanian Sumber Daya Lahan Pertanian (BSIP SDLP) luas lahan rawa di Indonesia adalah 34,1 juta hektar yang terbagi pada lahan pasang surut 8,9 juta hektar dan lebak 25,2 juta hektar. Ada 3 Provinsi dengan luas lahan rawa terbesar adalah Sumatera, Kalimantan, dan Papua dengan luas 12,9 juta hektar yang terdiri dari pasang surut 3 juta hektar dan lebak 9,9 juta hektar; 10 juta hektar terdiri dari pasang surut 2,9 juta hektar dan lebak 7,03 juta hektar; 9,8 juta hektar terdiri dari pasang surut 2,4 juta hektar dan lebak 7,4 juta hektar.

Berdasarkan kajian BSIP SDLP lahan potensial “tersedia” dilahan rawa adalah seluas 7,5 juta hektar, untuk komoditas padi sawah seluas 5,1 juta hektar, tanaman hortikultura 1,4 juta hektar, dan tanaman tahunan 0,9 juta hektar.

Kenyataan dilapangan mengelola lahan rawa lebak untuk sektor pertanian sangatlah tidak mudah, hal ini diantaranya karena kendala rejim air yang fluktuatif dan sulit diduga serta resiko kebanjiran (flooding) di musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Berdasarkan rejim airnya, lahan rawa dikelompokkan menjadi lahan rawa pasang surut dan lahan rawa non pasang surut (lebak).

Baca Juga :   Kunci Sukses Ala Mentan Amran, Muliakan Orang Tua dan Kurangi Hobi Ngaret

Lahan pasang surut adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh pasang surutnya air laut atau sungai, sedangkan lahan lebak adalah lahan yang rejim airnya dipengaruhi oleh hujan, baik yang turun di wilayah setempat maupun di daerah sekitarnya dan hulu.

Dengan kondisi biofisik yang demikian, maka pengembangan lahan rawa lebak untuk usaha pertanian khususnya tanaman pangan, hortikultura, peternakan dan perikanan dalam skala luas memerlukan pengelolaan lahan dan air serta penerapan teknologi yang sesuai dengan kondisi wilayahnya (spesifik lokalita) agar diperoleh hasil yang optimal.

Kondisi sosial ekonomi masyarakat serta kelembagaan dan prasarana pendukung juga perlu perhatian khusus. Status kejelasan kepemilikan lahan, keterbatasan petani atau sumber daya manusia dan modal kerja serta sarana produksi, prasarana dan sarana irigasi, penanganan pasca panen (hilirisasi) dan pemasaran hasil pertanian menjadi faktor yang menentukan keberhasilan program pengembangan pertanian di lahan rawa pasang surut/Iebak ini. Yang tidak kalah pentingnya keterlibatan Pemerintah Daerah terutama issue terkait lahan dan juga petaninya atau biasa dikenal dengan istilah data calon petani calon lokasi (CPCL).

Penulis berkesempatan bertemu langsung dengan salah satu Penyuluh, Rosita namanya. Ayahnya Rosita juga seorang Penyuluh yang sudah menyempurnakan masa tugasnya. Di Desa Padang Kecamatan Bati-Bati, Kabupaten Tanah Laut, Kalimantan Selatan Kamis (16/11/2023) ia mengaku menjadi penyuluh sekaligus petani sejak tahun 2008, mengikuti program SERASI akhir 2018 awal 2019.

Rosita bersama petani lainnya mulai menggarap lahan rawa tidur yang awalnya tidak menghasilkan. Dari 700 hektar areal persawahan, ada sekitar 125 hektar yang mereka garap untuk yang pertama kalinya. Melalui bantuan Alsintan rotary dan traktor dengan sistem pinjam pakai yang disediakan dari dinas pertanian setempat dan kementerian pertanian, kini petani di Desa Padang, Kecamatan Bati-Bati bisa panen dua kali dalam satu tahun.

Baca Juga :   Jagung Tumbuh Baik Seumur Jabatan Mentan Amran Bertugas Kembali

Namun, di tahun 2020-2021, Rosita dan petani lainnya mengalami puncak banjir dan kekeringan di tahun 2023 karena Elnino. Sejak mengikuti program Gerakan Nasional Tanam Padi, Rosita yang membina 19 kelompok tani, diantaranya kelompok tani ubudiyah, sumber rezeki, giat usaha dan tegar usaha terus berupaya memperluas lahan yang akan dioptimalisasi.

Kendala pengaturan air pada lahan rawa mineral yang dikelola selama ini harus menjadi perhatian. Pengakuan Roaita bahwa setelah mengalami banjir selama 10 hari yang sangat besar menyebabkan para petani saat itu mengalami kerugian, ini artinya diperlukan sebuah Upaya pengaturan Water Management Zone / zona pengelolaan air untuk menahan banjir yang kerap kali menggangu.

Padahal pogram SERASI telah dilaunching oleh Kementerian Pertanian sejak tahun 2018 akhir, pada lahan rawa seluas 320.000 ha yang dilaksanakan di Provinsi Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Data dari Direktorat Jenderal Tanaman Pangam, luas capaian yang terealisasi mencapai 240.529 ha (75,17%). Oleh karena itu, capaian tersebut bisa dijadikan benchmark sekaligus pelajaran untuk menghitung dan memitigasi kemungkinan kendala yang akan dihadapi.

Seperti pepatah “banyak jalan menuju roma” hal-hal yang menjadi kendala dalam pengembangan pertanian di lahan rawa menjadikan hal ini sebagai tantangan bagi Kementerian Pertanian untuk terus berinovasi dalam pemanfaat dan pengelolaan lahan rawa dengan tetap memegang prinsip-prinsip kelestarian ekologi. Seperti yang pernah disampaikan oleh Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman bahwa lahan rawa adalah lumbung pangan masa depan Indonesia.

Potensi lahan rawa untuk pertanian mendapat perhatian untuk menyangga kebutuhan stock beras dan kelebihan stocknya dapat diekspor. Para ahli pertanian menyatakan bahwa teknologi usaha tani dan pengelolaan air untuk berbagai tipologi lahan rawa telah tersedia, sehingga tidak ada alasan bagi Kementan untuk tidak mengelola lahan rawa. Bahkan Sebagian pakar menganggap bahwa lahan rawa adalah sebagai “Raksasa Tidur” yang harus dibangkitkan dari tidurnya.